Lihat ke Halaman Asli

Alfianto Prabowo

Mahasiswa UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Belajar dari Nepal: Demokrasi, Represi, dan Perlawanan Gen Z

Diperbarui: 15 September 2025   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Baru-baru ini, saya membaca sebuah artikel menarik di Kompasiana yang berjudul "Belajar dari Nepal: Demokrasi yang Berdarah" karya Study Rizal L. Kontu, diterbitkan pada 13 September 2025. Isinya cukup menggugah, membahas bagaimana demonstrasi di Nepal yang awalnya dipicu oleh larangan media sosial, berubah menjadi tragedi berdarah. Di sini, saya mencoba merangkum sekaligus menganalisis artikel tersebut, sambil menarik pelajaran penting, terutama bagi kita di Indonesia.

Ringkasan Singkat Berita

Artikel ini menceritakan bagaimana Nepal dilanda gelombang protes besar di Kathmandu dan sekitarnya. Awalnya, pemerintah Nepal melarang beberapa platform media sosial, mungkin karena khawatir dengan konten yang bisa memicu instabilitas. Namun, larangan ini justru meledakkan amarah rakyat.

Ribuan orang turun ke jalan menuntut kebebasan berekspresi, sekaligus menyuarakan masalah yang lebih dalam: korupsi merajalela, nepotisme yang menutup kesempatan kerja, dan ketidakadilan sosial yang semakin parah.

Sayangnya, pemerintah merespons dengan represif: gas air mata, peluru karet, hingga senjata api yang menewaskan belasan orang. Larangan media sosial akhirnya dicabut, tapi sudah terlambat—trauma dan luka sosial terlanjur menganga. Seperti yang dikatakan penulis, ini bukan sekadar soal media sosial, melainkan kegagalan komunikasi antara negara dan rakyat.

Mengapa Ini Terjadi dan Apa Artinya?

Nepal memang memiliki sejarah politik yang rumit. Dari monarki absolut, lalu transisi ke republik pada 2008 setelah perang saudara panjang dengan pemberontak Maois. Sejak itu, demokrasi di sana berjalan terseok-seok: pemerintahan sering berganti, koalisi rapuh, dan korupsi menjadi bagian sehari-hari.

Larangan media sosial hanyalah pemicu, bukan akar masalah. Media sosial di Nepal, sebagaimana di banyak negara berkembang, menjadi ruang alternatif bagi rakyat yang merasa suaranya tak didengar. Pemerintah yang takut kritik justru memperparah keadaan dengan represi. Seperti yang disebut penulis, ironi terbesar dari kasus ini adalah “komunikasi berubah menjadi represi.”

Lebih luas lagi, ini punya implikasi regional. Nepal berada di antara India dan China, dua kekuatan besar dengan pengaruh politik yang signifikan. Ketidakstabilan di Nepal bisa berdampak lebih luas, apalagi jika ada intervensi luar. Untuk Asia Selatan, pelajaran yang jelas adalah: demokrasi bukan hanya soal pemilu rutin, melainkan budaya dialog terbuka.

Bagi Indonesia, kasus Nepal ini menjadi pengingat. Kita pernah mengalami hal serupa pada Reformasi 1998. Kini, meskipun lebih stabil, masalah korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan sosial masih menghantui. Media sosial di Indonesia juga sering jadi ruang kritik, namun respons pemerintah terkadang malah berupa pelabelan hoax atau upaya pembatasan.

Salut Untuk Generasi Muda Nepal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline