Sebagai seorang suami baru, saya tersadarkan bahwa pernikahan bisa menjadi madrasah yang begitu mendidik. Bukan hanya tentang berbagi tugas atau saling memahami, tapi juga tentang belajar ulang arti sabar. Ya, melalui sosok yang saya panggil Nyonya.
Saya biasa memanggil istri dengan sebutan itu, bukan sekadar panggilan manja, tapi bentuk penghormatan. Seperti halnya masyarakat Indonesia Timur yang menyapa kaum hawa dengan sebutan Nona, panggilan "Nyonya" bagi saya punya nilai keanggunan tersendiri. Ia bukan hanya panggilan cinta, tapi juga sapaan yang lahir dari rasa hormat.
Di balik sapaan sederhana itu. Saya menemukan keteladanan besar tentang arti sabar.
Belajar Sabar dari Seorang Istri
Ketika fase kehamilan pertamanya datang, saya justru yang banyak belajar. Dari rasa mual dan letihnya, dari caranya tersenyum meski harus menahan perih, dari kelembutannya saat menghadapi hari yang berat tanpa banyak mengeluh. Hati ini tertegun, sabar bukan sekadar menahan emosi, tapi juga tentang menerima keadaan dengan hati yang lapang.
Suatu hari, saya sempat terpancing emosi di jalan. Ada pengendara yang seenaknya menyerobot jalur. Darah naik, tapi sebelum kata-kata kasar terucap, tangan lembut itu menyentuh lengan saya.
"Sudah, yuk. Sabar saja," ujarnya pelan.
Di lain waktu, saat kami makan di sebuah warung dan dilayani dengan sikap yang kurang ramah, ia kembali menenangkan.
"Sudahlah, duduk dulu yuk. Kita cobain makanannya."
Sederhana, tapi entah kenapa kata-katanya meneduhkan. Ada ketenangan yang tak bisa saya pelajari di tempat lain.
Diri ini mulai berpikir: apakah saya terlalu temperamental, atau justru dia yang kesabarannya di atas rata-rata manusia biasa?