Nenek Minah yang sudah berumur 55 tahun, yang mengambil tiga buah biji kakao milik PT. Rumpun Sari Antan ketika sedang memanen kedelai di lahan garapannya. Perbuatannya tersebut lalu diketahui oleh Mandor perkebunan, dan pada saat itu nenek minah telah mengembalikkan biji kakao yang diambilnya dan meminta maaf. Tetapi Pihak PT tetap melaporkan nenek minah pada pihak kepolisian dan dikenakan Pasal 361 KUHP tentang Pencurian. Nenek Minah yang sudah rentan usianya itu harus menjalani persidangan di pengadilan dengan tuduhan pencurian.
Dalam hal ini, nenek Minah tetap dihukum tanpa belas kasihan meskipun nenek Minah telah meminta maaf kepada pihak PT. Rumpun Sari Antan dan telah mengembalikan tiga buah biji kakao yang Nenek Minah ambil. PT RSA IV Darmakradenan menyampaikan bahwa pihaknya telah menderita kerugian Rp 30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah). Akhirnya dalam berkas perkara Nomor No. 247/PID.B/2009/PN.Pwt, nenek Minah harus menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto
Kasus tersebut menggambarkan Penerapan Mazhab hukum positivism di Indonesia, dimana mazhab hukum positivisme menekankan, bahwa hukum itu harus bersifat obyektif dan terukur tanpa terpengaruh oleh faktor- faktor subyektif seperti emosi, kepentingan pribadi ataupun agama. Hukum positivism itu membedakan antara hukum yang ada dengan sebuah moral kemanusiaan, sebagai contohnya adalah kasus nenek Minah di atas. Walaupun nenek Minah sudah memasuki lanjut usia dan tidak mempunyai niat untuk mencuri buah kakao dari PT. Rumpun Sari Antan, tetapi nenek Minah harus tetap mengikuti hukum yang ditegakkan di Indonesia yaitu jika mencuri maka akan dikenakan sanksi penjara maksimal 5 tahun sesuai dengan pasal 362 KUHP.
Pada kasus Nenek Minah, pada proses pelimpahan berkas perkara hingga menjalani proses persidangan, prinsip-prinsip kepastian hukum lebih diutamakan. Menurut hemat saya, hal ini terlihat jelas bahwa perbuatan tindak pidana tidak kompromis kepada pelaku atau tersangka. Sehingga penegak hukum justru melimpahkan kasus ini melalui pendekatan judicial ketimbang melalu pendekatan kemanusiaan dan rasa keadilan masyarakat.
Hukum Pidanadi Indonesia masih menganut aliran Positivisme, hal ini secara eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di pidana seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas legalitas. Dari pernyataan diatas maka pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa, dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang mengaturnya. Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan ialah yang tertuang didalam hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam didalam hukum positif, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa diminta pertanggung jawaban hukumnya menurut hukum pidana.
Meskipun sebagaimana prinsip pada Pasal 10 Ayat (1) UUNo.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Namun upaya-upaya di luar persidangan baik melalui diskresi, jalur perdamaian atau non litigasi akan lebih mengedukasi masyarakat, khususnya pada perkara, diatas ketimbang harus membawanya ke meja hijau.
Pasalnya, berangkat dari pengaduan oleh PT Rumpun SariAntan (RSA), Nenek Minah didakwa telah mengambil 3 biji buah kakao milik PT RSA, diancam sanksi Pasal 362 KUHP, dimana pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.
Tanpa didampingi kuasa hukum pada saat persidangan, Nenek Minah akhirnya ditahan di rumah tahanan sambil menunggu proses persidangan.
Berdasarkan alat bukti yang sah, tiga orang saksi, yakni Mandor Perkebunan diantaranya Jawali, Tarno dan Rajiwan, menjelaskan kepada hakim bahwa benar melihat dengan jelas Nenek Minah mengambil 3 biji buah kakao dengan pisau dan dimasukkan dalam karung plastik.
Nenek Minah pun dalam persidangan juga mengakui bahwa mengambil 3 biji buah kako tersebut untuk ditanam di lahannya, karena tidak punya uang untuk membelinya. Terdakwa juga mengakui perbuatan tersebut adalah pertamakalinya dan berjanji tidak akan mengulanginya.
Namun persidangan berlanjut pada tahap tuntutan yang disampaikan oleh penuntut umum. Dimana penuntut umum mendakwanya dengan perbuatan tindak pidana pencurian yang termasuk dalam rumusan Pasal 362 KUHP. Unsur-unsur tindak pidana pencurian.
BAGAIMANA ARGUMEN TERHADAP KASUS INI ?