Pemerintah Orde Baru memandang dirinya bapak. Mereka memposisikan rakyat sebagai anaknya.
Ini adalah budaya paternalistik Jawa. Anak tidak semestinya melawan bapak. Perintah bapak adalah kebenaran mutlak. Perintah itu harus selalu dipatuhi.
Falsafah ini menjadi landasan negara. Negara bisa menjalankan roda kekuasaannya. Stabilitas menjadi tujuan utamanya. Pembangunan ekonomi adalah agenda besarnya.
Pembangunan butuh suasana yang tenang. Suasana harus selalu terkendali. Maka suara kritis dianggap gangguan. Bahkan suara itu menjadi ancaman. Ancaman tersebut harus segera diredam.
Suara paling vokal datang dari kampus. Para mahasiswa punya idealisme tinggi. Mereka sering turun ke jalan. Mereka menyoroti kebijakan pemerintah. Kebijakan itu dinilai tidak pro rakyat.
Puncak gerakan terjadi tahun 1974. Peristiwa itu dikenal sebagai Malari (Kompasiana). Malari dipicu demo menentang modal asing. Ribuan mahasiswa berdemo di Jakarta.
Aksi damai berakhir dengan kerusuhan. Pemerintah melihatnya sebagai ancaman serius. Ada teori kuat tentang keterlibatan jenderal. Para jenderal bermain di belakang layar.
Mereka punya kepentingannya masing-masing. Ali Moertopo dan Soemitro disebut terlibat. Hal ini masih menjadi perdebatan sejarawan (Kompas.com, 2019).
Negara bergerak cepat setelah Malari. Mereka ingin hal itu tidak terulang. Kampus harus dinetralkan dari politik. Lalu lahirlah kebijakan represif baru.
Kebijakan itu bernama Normalisasi Kehidupan Kampus. Kemudian dibentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan. Kebijakan ini diresmikan lewat SK Mendikbud.
Menteri Daoed Joesoef menandatanganinya (Wikipedia). Namun gagasan ini sudah ada lama. Ini adalah strategi jangka panjang (Perpustakaan Universitas Indonesia).