Lihat ke Halaman Asli

Aida Mardiah

saya seorang mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia semester 4

Kehilangan Arah Hidup

Diperbarui: 30 Juni 2025   20:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada tahun 2021, dunia Alisa, anak ketiga dari empat bersaudara, runtuh. Ayah yang selalu menjadi tiang dalam hidupnya, pergi untuk selamanya. Alisa seperti kehilangan kompas. Hari-harinya terasa hampa, setiap sudut rumah mengingatkan pada tawa dan nasihat ayahnya. Sebagai anak tengah, ia merasa punya peran khusus dalam keluarga; ia adalah penengah, sang penghibur. Namun, kini, ia sendiri yang membutuhkan hiburan.

Ibunya terlihat kuat, kakak-kakaknya saling menguatkan, dan adik bungsunya yang masih kecil seolah belum sepenuhnya mengerti. Alisa merasa terasing dalam kesedihannya sendiri. Ia sering termenung, menatap kosong ke luar jendela, membiarkan air mata mengalir tanpa suara. Sekolah terasa berat, ia kehilangan minat pada hal-hal yang dulu ia sukai, bahkan pada melukis, hobinya yang paling ia cintai.

Suatu sore, saat ia sedang melamun di teras, ibunya menghampiri dan duduk di sebelahnya. Ibunya tidak berkata banyak, hanya mengelus rambut Alisa dengan lembut. "Ayah pasti ingin kamu bahagia, Nak," bisik ibunya pelan. Kalimat itu seperti sentilan kecil yang menyentuh hati Alisa. Benar, ayahnya selalu menginginkan yang terbaik untuknya.

Perlahan, Alisa mulai mencoba bangkit. Ia tahu ini tidak akan mudah. Setiap kali rasa sedih menyerang, ia mencoba mengingat momen-momen indah bersama ayahnya. Ia mulai membuka kembali buku-buku yang pernah dibaca ayahnya, mendengarkan lagu-lagu favorit ayahnya, dan bahkan mencoba masakan kesukaan ayahnya. Semua itu bukan untuk terjebak dalam kesedihan, melainkan untuk merasa ayahnya tetap dekat, dalam kenangan.

Ia juga mulai kembali melukis. Awalnya sulit, tangannya terasa kaku, dan pikirannya kosong. Tapi Alisa terus mencoba. Dalam setiap sapuan kuasnya, ia mencurahkan perasaannya, meluapkan kerinduan, dan perlahan, juga harapan. Lukisan-lukisannya menjadi lebih berwarna, bukan lagi hanya nuansa kelabu. Ia melukis taman bunga kesukaan ayahnya, senja di tepi danau tempat mereka sering memancing, bahkan potret ayahnya dengan senyum lebarnya.

Menerima kenyataan bahwa ayahnya tidak akan pernah kembali adalah proses yang menyakitkan dan berliku. Ada hari-hari di mana Alisa merasa kuat, ada pula hari-hari di mana ia merasa sangat rapuh. Namun, setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia akan menatap lukisan ayahnya, dan seolah mendapat kekuatan baru. Ia sadar, ayahnya memang sudah tiada, tapi warisan cinta, kekuatan, dan kebaikan ayahnya akan selalu hidup dalam dirinya.

Alisa belajar bahwa kehilangan tidak berarti akhir dari segalanya. Kehilangan adalah bagian dari perjalanan hidup, yang membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih menghargai setiap momen. Ia tidak lagi melihat kepergian ayahnya sebagai kehilangan arah, melainkan sebagai sebuah jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang arti kehidupan dan arti sebuah keluarga. Ia tahu, ayahnya akan selalu bangga padanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline