Di era ketika semua orang bisa berbicara, justru semakin sedikit yang benar-benar berpikir. Media sosial kini menjadi panggung terbesar, tapi juga paling bising. Setiap orang ingin didengar, namun jarang yang mau mendengar. Padahal, ukuran kemajuan bangsa bukan hanya pada jumlah sarjana, teknologi, atau gedung megah yang dibangun, melainkan pada karakter dan adab masyarakatnya.
Bangsa besar bukan hanya karena cerdas, tetapi karena beradab. Sejarah menunjukkan, banyak bangsa besar tumbang bukan karena miskin sumber daya, melainkan karena kehilangan moral, kehilangan empati, dan saling menjatuhkan.
Cerdas Tanpa Adab, Pintar Tanpa Nurani
Kita sering bangga dengan banyaknya anak muda yang menempuh pendidikan tinggi, lulusan luar negeri, atau menguasai teknologi. Tapi ironisnya, di tengah kecerdasan itu, banyak yang kehilangan kesantunan. Di ruang publik maya, mudah sekali kita temui hujatan, fitnah, bahkan persekusi digital --- seolah-olah menghina dan mencaci sudah menjadi budaya baru.
Padahal, kecerdasan tanpa adab hanya melahirkan kekacauan baru. Bangsa yang cerdas tapi tidak santun, akan lebih cepat terpecah oleh ego dan kepentingan pribadi.
Sebaliknya, bangsa yang sederhana tapi beradab akan kuat karena saling menghormati, sabar, dan tahu kapan harus menahan diri.
Ketika Moral Bangsa Mulai Luntur
Dalam budaya kita, dulu anak diajarkan tiga hal utama: sopan, sabar, dan tahu malu. Kini, banyak yang bangga karena bisa keras di ruang publik, tapi malu untuk mengakui kesalahan. Kita kehilangan nilai-nilai luhur seperti tepa selira dan unggah-ungguh.
Bukan berarti kita harus kembali ke masa lalu, tapi sudah saatnya kita mengembalikan moralitas sebagai fondasi kemajuan bangsa. Negara maju bukan hanya karena teknologi, tapi karena warganya jujur, disiplin, dan menghargai aturan. Lihatlah Jepang: mereka unggul bukan karena pintar semata, tapi karena berkarakter --- menjaga waktu, sopan, dan taat sistem.
Adab, Pondasi dari Segala Kemajuan
Dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." Itu artinya, akhlak dan adab bukan pelengkap pendidikan, tapi inti dari peradaban manusia yang memiliki 2 mata uang tak terpisahkan jasmani dan rohani secara ritual beribadah kepada Allah secara actual berakhlag dengan manusia sebagai insan yang berinteraksi social .
Begitu pula dalam tradisi Jawa dikenal ungkapan, "Ngajeni wong iku luwih dhuwur tinimbang pintere." menghormati orang lain lebih utama daripada sekadar pintar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI