Menyoal Bahaya Perlindungan Berlebihan dalam Pengasuhan Anak
Di jantung masyarakat urban modern, naluri orang tua untuk melindungi keturunan mereka telah mengalami hipertrofin "pembesaran di luar batas normal".
Secara biologis dan evolusioner, dorongan untuk memastikan anak aman, bahagia, dan bebas dari segala kesulitan adalah mekanisme pertahanan primal yang wajar.
Bagi banyak orang tua saat ini, penderitaan anak, sekecil apa pun, diinterpretasikan sebagai kegagalan pengasuhan; rasa kecewa, kegagalan, atau bahkan ketidaknyamanan minor pada anak adalah indikator bahwa mereka belum cukup berusaha.
Namun, di balik niat mulia ini, kita menyaksikan munculnya sebuah dilema psikologis yang serius: fenomena overprotection atau helicopter parenting.
Perlindungan yang konstan dan intervensi yang berlebihan dalam setiap aspek kehidupan anak, mulai dari menyelesaikan pekerjaan rumah, menengahi setiap konflik pertemanan, hingga memilih jalur karier, sejatinya menutup akses anak pada mekanisme belajar yang krusial.
Niat orang tua adalah cinta, tetapi praktik overprotection sering kali merupakan manifestasi dari kecemasan orang tua itu sendiri yang diproyeksikan kepada anak.
Alih-alih membesarkan anak yang kuat dan resilien untuk menghadapi ketidakpastian dunia, kita berisiko menciptakan generasi yang tampak aman di bawah naungan kita, tetapi secara fundamental rapuh saat disajikan dengan realitas hidup yang tak terhindarkan.
Tugas pengasuhan sejati bukanlah menghilangkan kesulitan, melainkan memberikan alat dan ruang yang aman untuk berlatih gagal, sebuah kegagalan yang diawasi, di mana anak belajar bangkit dan menjadi arsitek sejati dari takdirnya sendiri.
Psikologi perkembangan menegaskan bahwa anak bukan hanya butuh rasa aman, tetapi juga pengalaman menghadapi tantangan. Erik Erikson dalam teori perkembangan psikososial menjelaskan bahwa setiap fase hidup manusia diwarnai oleh "krisis" yang harus dihadapi, misalnya tahap kemandirian (autonomy vs. shame and doubt) atau tahap inisiatif (initiative vs. guilt).