"Semakin manusia mengenal dirinya, semakin ia sadar bahwa yang paling layak disembah hanyalah Allah, bukan egonya."
Kata "healing" di jaman kiwari kini seolah menjadi mantra baru. Begitu juga dengan "self-improvement" yang menjadi agama baru tanpa nama. Manusia modern kini tampak begitu sibuk mencari dirinya sendiri. Lantas, orang sibuk belajar dan berlomba untuk memahami kekuatan bawah sadar yang yang siap diledakkan. Atau mengelola emosi, menata "vibrasi energi positif," dan menulis afirmasi setiap pagi, agar alam semesta siap melayani semua keinginan kita.
Tapi, di tengah semarak pencarian ini, ada satu pertanyaan yang jarang diajukan dan terpikiran. Yaitu, "Siapa sih yang sebenarnya menjadi pusat daam seluruh proses itu: manusia, atau Tuhan?"
Sebagai seorang muslim yang pernah menekuni Neuro Linguistic Programming (NLP) dan psikologi humanistik, saya dulu terpesona oleh gagasan didalamnya. Katanya, manusia itu memiliki potensi tak terbatas. Namun, di titik tertentu, senyatanya saya merasa ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh teori kognitif atau afirmasi positif. Ruang itu adalah ruang ketundukan.
Dari situlah saya mulai meninjau ulang, dan menemukan kembali arah yang hilang: Tauhid.
Piramida Logika dan Puncak Ego
Robert Dilts, salah satu tokoh penting NLP, memperkenalkan konsep Logical Levels of Change. Atau yang sering dikenal sebagai Neuro-Logical Level, yang digambarkan sebagai sebuah piramida yang menggambarkan struktur kesadaran manusia. Dari bawah ke atas, lapisannya terdiri atas: environment (lingkungan), behavior (perilaku), capabilities/skills (kemampuan), beliefs and values (keyakinan dan nilai), identity (jati diri), hingga spirituality (visi tertinggi tentang makna hidup).
Pada puncak piramida, manusia dianggap mencapai "kesadaran spiritual" ketika ia memahami misinya, tujuannya, dan kontribusinya bagi dunia. Di titik ini, "spiritualitas" didefinisikan bukan sebagai relasi dengan Tuhan, melainkan sebagai kesadaran tertinggi dari self. Sebatas diri yang sadar, otonom, dan berdaulat atas kehidupannya.
Di satu sisi, model ini memikat: ia memberi kerangka logis tentang perubahan diri. Namun di sisi lain, jika dicermati, puncak piramida itu masih berpusat pada aku. Di sanalah letak pergeseran epistemologis yang halus tapi mendasar: spiritualitas tanpa Tuhan.
Piramida Wahyu dan Sentralitas Tauhid
Berbeda dengan piramida logika NLP, Islam membangun struktur kepribadian manusia dari fondasi yang sangat berbeda: Tauhid. Dalam piramida wahyu, pusat segala perubahan bukanlah "self", melainkan Allah.
Dalam Al-Qur'an, manusia diingatkan:
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat 51: 56)