Indonesia berada di garis depan dampak perubahan iklim. Suhu bumi terus naik sejak abad ke-19, dan sepuluh tahun terakhir tercatat sebagai periode paling panas sepanjang sejarah (NOAA, 2025). Perubahan ini memicu penurunan hasil pertanian, perubahan pola hujan, serta meningkatnya bencana hidrometeorologi di berbagai wilayah (Sulaminingsih et al., 2024).
Selama tahun 2024, tercatat 3.472 bencana terjadi di Indonesia. Jawa Barat menjadi provinsi dengan kejadian terbanyak, dan Kabupaten Sukabumi mengalami 40 bencana sepanjang tahun (BNPB, 2024). Di wilayah lereng Gunung Salak, masyarakat adat Kasepuhan Girijaya hidup berdampingan dengan alam yang curam dan rawan bencana. Mereka sangat bergantung pada sumber daya alam, terutama pertanian dan air. Namun masyarakat Girijaya tetap bertahan dengan cara mereka sendiri. Kekuatan itu tumbuh dari kearifan lokal yang masih dijalankan hingga hari ini.
1. Seren Taun
Setiap tahun, masyarakat Girijaya menggelar Seren Taun sebagai bentuk syukur atas hasil bumi. Ritual ini diisi doa, tarian, dan berbagai simbol budaya yang mencerminkan rasa terima kasih atas rezeki yang diperoleh.
"Kalau Seren Taun sih lebih ucapan syukur kita atas keberlimpahan dari segala unsur ya entah itu pertanian, pekerjaan, ya untuk penghasilan dari masyarakat khususnya Girijaya," ujar KF, sesepuh adat berusia 43 tahun.
Ia melanjutkan, "Makna daripada Seren Taun itu sendiri lebih ke ucapan syukur terhadap yang kuasa, atas apa yang dikaruniakan dari mulai kenikmatan sehat, iman Islam, dan sebagainya, dan juga menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat khususnya masyarakat lokal bagaimana cara hidup yang baik dan benar tidak sembrono."
2. Rebo Wekasan
Tradisi Rebo Wekasan masih dijalankan dengan khidmat. Setiap Rabu terakhir bulan Safar, warga berdoa bersama di sekitar sumber mata air. Hari itu, mereka tidak menggunakan air sama sekali.
"Air itu hidup, air itu juga berzikir, bertasi seperti itu dan juga air juga bisa menjadi pengikat kepada kita gitu. Walaupun curug teh dijadiin tempat wisata tapi ada batasannya, cuman sampai daerah tertentu aja yang sumber mata air harus bersih, harus terjaga gitu dari kalo kata kita mah ulah dikobok," tutur YF (48 tahun).
Sementara RD (43 tahun) menambahkan, "Pas 30 Safar neng, kita ada tradisi ke gunung ke sumber mata air trus ngadoa supaya terhindar dari bala."
Tradisi ini bermakna bahwa menjaga hulu berarti menjaga kehidupan. Dengan melestarikan sumber air, masyarakat memastikan ketersediaan air bersih dan membantu mengurangi dampak kekeringan akibat perubahan iklim.
Kawasan Hutan Larangan menjadi wilayah yang dianggap sakral oleh masyarakat Girijaya. Tidak ada yang berani menebang pohon atau mengambil kayu di sana.
"Ada hutan khusus disana kita enggak boleh ngambil kayu itu ya memang dari zaman dulu ya, sehingga sekarang itu sudah mendarah daging disebutnya politik leluhur jadi sudah tidak dikasih tahu lagi sudah tidak diingatkan lagi kalau gitu. Apalagi kami kan sakralkan atau pamali dan sudah didoktrin begitu awas di situ ada siluman. Orang dulu itu nurut takut gitu, sehingga isinya itu terjaga tidak ada pembalakan," kata KF.