Prolog: Pembantaian di Istana Sunda Agung
Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.
Malam itu, Istana Sunda Agung bermandikan cahaya bulan purnama. Bayang-bayang bambu dan pohon-pohon Bodhi menari lembut di atas dinding-dinding batu berukir yang telah berdiri gagah selama ratusan tahun, menjadi saksi bisu pasang surutnya kerajaan. Dari pendopo agung, alunan gamelan yang syahdu mengalir, menyatu dengan aroma dupa cendana dan melati yang dibakar di pelataran, menciptakan suasana tenteram yang menipu. Di dalam, kehidupan istana berjalan seperti biasa, tak menyadari bahwa takdir kelam tengah merayap mendekat dari balik hutan-hutan lebat yang mengelilingi ibu kota.
Ratu Sekar, permaisuri Pangeran Arya Wirasakti, tengah meninabobokan putra bungsunya di dalam kamar pribadinya yang berhias kain sutra dan ukiran kayu jati. Wajahnya yang ayu memancarkan kelembutan seorang ibu, namun di sorot matanya tersimpan ketegasan seorang wanita bangsawan Sunda yang menjunjung tinggi kehormatan. Ia menyenandungkan tembang kuno tentang para dewa dan kesatria, suara merdunya menenangkan sang buah hati yang terlelap dalam buaian. Di luar, Pangeran Wirasakti, panglima perang Kerajaan Sunda Agung, tengah berdiskusi dengan para patih mengenai patroli perbatasan, tak menyadari bahwa ancaman terbesar justru datang dari jantung wilayah kekuasaan VOC di Batavia.
Kapten Willem van der Kraan, nama yang telah menjadi sinonim dengan teror dan kekejaman di tanah Pasundan, memimpin pasukannya dalam senyap. Mereka bergerak seperti hantu di bawah naungan malam, serdadu-serdadu Eropa dengan bedil terkokang, didampingi oleh para marechaussee bayaran dan beberapa Mata-Mata Bayangan -- pribumi pengkhianat yang jiwanya telah diracuni candu dan janji-janji kosong Kompeni. Willem, mantan algojo yang haus darah dan kekuasaan, memiliki dendam pribadi terhadap kerajaan-kerajaan Sunda yang dianggapnya sebagai penghalang utama ambisi VOC untuk menguasai seluruh perdagangan rempah dan hasil bumi. Malam ini, Istana Sunda Agung, simbol perlawanan dan kemandirian, akan menjadi pelajaran bagi siapa pun yang berani menentang Kompeni.
Serangan dimulai tanpa peringatan. Ledakan pertama merobek kesunyian malam, menghancurkan gerbang utama istana menjadi serpihan kayu dan batu. Pekikan terkejut dan jeritan ngeri menggantikan alunan gamelan. Para prajurit penjaga yang tak siap, beberapa bahkan masih dalam balutan sarung setelah beristirahat, menjadi sasaran empuk rentetan tembakan musket. Darah seketika membasahi pelataran, aroma mesiu yang menyengat menggantikan wangi dupa.
Ratu Sekar tersentak bangun dari tidurnya yang baru sejenak. Suara gemuruh pertempuran dan teriakan memilukan menusuk gendang telinganya. Ia segera memeluk putranya erat, jantungnya berdegup kencang bagai genderang perang. Pangeran Wirasakti menerobos masuk ke kamar, wajahnya tegang, pedang pusaka terhunus di tangan.
"Kompeni... mereka menyerang!" desisnya, matanya menyiratkan kemarahan dan kekhawatiran yang mendalam. "Sekar, kau harus pergi! Bawa anak-anak melalui jalan rahasia di belakang taman. Bawa Pustaka Astagina bersamamu!"
Pustaka Astagina. Kitab kuno warisan leluhur, berisi ilmu pengetahuan, ramalan, dan kunci kekuatan spiritual Kerajaan Sunda Agung. Kehilangannya berarti lumpuhnya jiwa kerajaan.
Ratu Sekar menggeleng. "Aku tidak akan meninggalkanmu, Kangmas!"
"Ini bukan saatnya berdebat!" bentak Wirasakti, sesuatu yang jarang dilakukannya. "Selamatkan kitab itu, selamatkan anak-anak kita! Itu lebih penting dari nyawaku!" Ia mengecup kening istrinya dan kedua anaknya yang kini terbangun dan menangis ketakutan. "Pergilah! Aku akan menahan mereka!"