Mohon tunggu...
Yoga Duwarto
Yoga Duwarto Mohon Tunggu... Penulis

Pengamat Kebijakan Publik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Amarah Rakyat Untuk Berkeadilan dan Tanggung Jawab Negara

12 September 2025   03:18 Diperbarui: 12 September 2025   03:18 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ledakan Amarah sebagai energi perubahan pembawa harapan

Pernahkah kita merasakan ada yang tidak beres dengan hidup sehari-hari? Bagaimana kita telah bekerja keras, membayar pajak, ikut gotong-royong, tapi rasanya ada terusik pada kesejahteraan mengapa terasa  hanya bisa dinikmati sebagian kecil orang. Situasi dimana harga kebutuhan pokok naik, biaya sekolah dan kesehatan semakin berat, sementara gaji atau penghasilan tak sebanding. Perasaan inilah yang akhirnya meledak dalam bentuk amarah dalam aksi massa di jalanan, di media sosial, bahkan di obrolan sederhana di warung kopi pojok jalan.

Namun amarah rakyat jelas bukanlah amarah kosong. Itu adalah bahasa hati, ketika sebuah teriakan kolektif yang muncul karena rasa keadilan yang terkikis. Walau pun angka resmi memang berkata telah lain, kemiskinan yang  turun dari 11,22% pada 2015 menjadi 9,22% di 2024, demikian pula angka pengangguran terbuka juga membaik. Tapi di balik ini semua, masyarakat masih merasa hidupnya rentan. Satu musibah sakit atau kehilangan pekerjaan bisa langsung membuat keluarga jatuh miskin kembali.

Sebenarnya ada indikator lain yang lebih jujur menyampaikan yang disebut adalah Koefisien Gini. Perlu diketahui bahwa nilai Indonesia 0,379. Koefisien GINI adalah skala dari angka 0 dan 1. Angka 0 menunjukkan kesetaraan kesejahteraan, dan angka 1 menunjukkan ketidaksetaraan. Nah sekilas terlihat nilai GINI Indonesia adalah "sedang", tetapi kenyataannya kesenjangan tetap terasa nyata. Artinya, sebagian kecil orang menguasai telah kue kemakmuran dalam porsi sangat besar, sementara mayoritas harus berebut remah. Jika diibaratkan kue, sebagian mayoritas rakyat hanya bisa mencium aromanya, sementara potongan terbesarnya habis di meja para elit ekonomi.

Bandingkan dengan Vietnam, negara tetangga yang dulunya dengan kondisi jauh lebih miskin dari Indonesia. Koefisien Gini mereka sekitar 0,36, sedikit lebih rendah dari kita, tapi pertumbuhan ekonomi mereka rata-rata 6--7% per tahun selama dalam dua dekade terakhir. Bedanya yaitu  pertumbuhan itu lebih terasa di pedesaan berkat investasi serius pada sektor pertanian dan manufaktur kecil-menengah. Sehingga rakyat Vietnam bisa merasakan naik kelas sosial lebih cepat, sementara di Indonesia kelas menengah sering terjebak di kubangan "middle income trap".

Atau bisa kita lihat Korea Selatan, yang pada 1960-an dengan kondisinya bahkan lebih miskin daripada Indonesia. Mereka memulai dengan kebijakan fiskal yang sangat keras, yaitu pajak progresif, pendidikan wajib bermutu, dan juga investasi besar di teknologi. Hasilnya? Sekarang koefisien Gini Korea Selatan di angka 0,34 dan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita mereka kini menembus USD 34.000, jauh meninggalkan Indonesia yang baru mencapai sekitar USD 5.400.

Sementara itu juga dengan negara negara Skandinavia seperti Norwegia atau Denmark telah menunjukkan bagaimana kebijakan pajak progresif tinggi dipadukan dengan layanan publik gratis atau dikatakan murah (pendidikan, kesehatan, transportasi). Rasio Gini mereka hanya 0,27--0,29, menjadi salah satu yang paling setara di dunia. Warganegara percaya bahwa pajak mereka kembali dalam bentuk kesejahteraan nyata, sehingga kontrak sosial tetap kokoh.

Selain daripada itu kesenjangan kita juga makin diperparah oleh perilaku tindak korupsi. Dimana skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mentok di 37/100 (peringkat ke-115 dunia). Bandingkan saja dengan Malaysia di skor 47 atau Singapura di skor 83. Perbedaan ini bisa menjelaskan kenapa dan mengapa kepercayaan publik di sana lebih tinggi, dan kebocoran anggaran jauh lebih kecil, bukan tidak ada.

Maka daripada itu wajar jika masyarakat masih merasa diperlakukan tidak adil. Mereka melihat sendiri bagaimana sekolah roboh di desa, rumah sakit penuh tapi tanpa kelengkapan obat, sementara pejabat bisa foya-foya di luar negeri. Telah mengusik rasa ketidakadilan hukum, kerusakan lingkungan, hingga banjir bandang hoaks menambah bara marah. Maka amarah amok akhirnya meledak menjadi aksi massa, bahkan telah menelan korban jiwa dan luka kedua belah pihak masyarakat dan aparat keamanan.

Perlunya Menteri Keuangan yang lebih dari sekadar Bendahara.

Di titik kritis dan krusial ini, Menteri Keuangan baru akan memikul tanggung jawab besar. Karena tugasnya bukanlah hanya menjaga neraca dan angka defisit, tapi harus bisa  memastikan APBN menjadi alat strategis untuk pemerataan kesejahteraan yang berkeadilan. APBN bukan sekadar tabel, melainkan kontrak sosial antara negara dan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun