Â
REVITALISASI RRI DALAM MENJAGA KEUTUHAN BANGSA: Refleksi Ulang Tahun ke-80
Dr. Hotmatua Paralihan, M. Ag
Penggiat Filsafat/Praktisi Media
SEBUAH AWAL KISAH
Jakarta, akhir Agustus 2025. Langit kota tampak muram, seolah ikut merasakan kecemasan yang melanda. Suara sirene meraung di mana-mana, bau asap menyelimuti jalan, dan berita kerusuhan beredar dari mulut ke mulut. Dalam rentang 25--31 Agustus, api berkobar di toko-toko, perkantoran, bentrokan antara aparat dan massa tak terelakkan, sementara warga berlari menyelamatkan diri.
Dalam sekejap, negara tercatat merugi Rp1 triliun. Sembilan jiwa melayang, entah berapa keluarga yang kehilangan mata pencaharian. Belum lagi kredibilitas negara di calon ivestor, pengusaha dan negara asing. Â Di televisi, wajah-wajah panik ditayangkan berulang, tetapi media sosial lebih liar lagi: video potongan tanpa konteks, muncul penumpang gelap untuk maksud tertentu, kabar provokatif, hingga fitnah yang dikemas seolah kebenaran.
Dari antara berita yang simpang-siur, satu nama menyeruak ke permukaan: Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online sekaligus aktivis muda. Ia meninggal dunia setelah ditabrak kendaraan taktis Brimob. Dalam hitungan jam, Affan menjadi simbol kemarahan masyarakat. Namanya dipanggil di jalan-jalan, fotonya dibagikan jutaan kali di media sosial.
Namun bisa dikatakan 90% dari informasi yang beredar ternyata hoaks minimal hilang dari kontek dan objektivitasnya. Video yang dipelintir, kutipan yang dipotong, hingga narasi yang sengaja dikipasi untuk memperbesar amarah. Masyarakat bingung: siapa yang bisa dipercaya? Pada titik itulah, sebuah kesadaran kita harus muncul kembali: bangsa ini membutuhkan media publik yang netral, cepat-tepat, jernih, dan bisa dipercaya. Sekarang Affan dan 8 nyawa  korban kerusuhan sudah pergi, moga  mereka semua yang  koban  jadi suhada. Lalu apakah ini peristiwa semata, tentu tidak, bagi bangsa yang besar dan bermartabat perlu ada pikiran jernih agar tidak terulang.  Â
RRI DAN TUGAS SEJARAHNYA