Status atau Integritas? Menguji APJ ASN dan Akademisi di Apotek Komunitas
Disclaimer: Tulisan ini adalah opini yang disusun berdasarkan pengamatan, pengalaman lapangan, dan refleksi pribadi sebagai bagian dari komunitas profesi apoteker. Bila ada kesamaan tokoh, tempat, atau situasi, itu semata-mata kebetulan dan tidak bermaksud menyerang pribadi atau institusi tertentu.
Di sebuah kota kecil yang padat dengan apotek-apotek berjajar di pinggir jalan utama, sebuah ironi berlangsung setiap hari: papan nama apotek mencantumkan nama seorang apoteker dengan gelar lengkap, tapi sang pemilik apotek bahkan sesekali melihat wajahnya secara langsung.
Apoteker Penanggung Jawab (APJ) yang tercatat, rupanya adalah seorang ASN di dinas kesehatan kabupaten. Sibuk, tentu saja. Agenda rapat lintas sektor, koordinasi program, dan tugas negara lain yang tak kalah mulia. Tapi, sayangnya, apotek tempat ia tercatat tidak pernah menjadi bagian dari agendanya.
Fenomena ini bukan satu dua kasus. Ia menjadi semacam rahasia umum dalam dunia praktik keapotekeran komunitas. Banyak APJ yang berasal dari kalangan ASN maupun akademisi, tetap memegang jabatan formal di apotek komunitas---namun kehadiran fisiknya, dan lebih penting lagi, kehadiran tanggung jawabnya, nyaris nihil.
Antara Status dan Substansi
Secara administratif, tidak ada yang salah. Nama tercatat, STR aktif, SIP terbit, bahkan laporan berkala ditandatangani. Semua serba formal. Tapi secara substansial, praktik ini menyisakan lubang besar dalam sistem pelayanan kefarmasian.
APJ bukan sekadar nama di papan. Ia adalah penjaga mutu, pengawas distribusi, dan penanggung jawab etis serta hukum atas semua aktivitas apotek. Ketidakhadirannya membuka celah risiko: pelanggaran etika, penyalahgunaan obat, hingga potensi kerugian pasien.
"Dan yang lebih menyakitkan---ketika apoteker lain yang benar-benar bersedia hadir, justru tidak mendapat ruang karena posisi itu telah "diisi" oleh mereka yang hanya hadir di dokumen."
"Aman" Karena ASN?
Di banyak kasus, status ASN atau akademisi sering dianggap sebagai tameng. Seolah dengan menjadi bagian dari institusi negara atau perguruan tinggi, maka aman dari sanksi. Siapa pula yang akan menegur? Laporan jalan, izin tetap hidup, bahkan mungkin tak ada yang merasa itu salah.
Namun inilah titik krusial yang patut direnungkan: apakah status sosial dan jabatan struktural membuat seseorang kebal dari nilai integritas profesi?
Yang lebih ironis---jargon "kehadiran apoteker di sarana pelayanan" adalah syarat yang justru ditekankan oleh instansi pemerintah itu sendiri, tempat para ASN ini bekerja bahkan menjadi lagu kebangsaan sebagian apoteker. Namun dalam praktiknya, justru pelanggaran terhadap prinsip kehadiran ini dilakukan secara sistemik dan dibiarkan begitu saja. Sebuah kontradiksi menyakitkan: regulasi ditegakkan ke bawah, tapi diabaikan oleh mereka yang seharusnya menjadi teladan.