Lihat ke Halaman Asli

M. Abrori Riki Wahyudi

Jika menulis adalah nafas, maka membaca adalah udaranya

Ketika Rubah Memakai Topeng Singa: Manipulator dalam Bayang-Bayang Machiavelli

Diperbarui: 24 September 2025   00:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Canva

"Sebab itu, seorang pangeran harus tahu betul bagaimana meniru rubah dan singa." Niccol Machiavelli, Sang Pangeran.

Dalam panggung politik hingga interaksi sosial saat ini, kita sering bertemu dengan individu yang lihai, penuh siasat, dan terkadang kejam dalam mencapai tujuannya. Sosok-sosok ini kerap kali melabeli diri mereka atau dilabeli oleh orang lain sebagai "Machiavellian", seolah-olah tindakan mereka memiliki landasan filosofis yang dalam dan strategis. Namun, pada kenyataannya, banyak dari mereka hanyalah rubah licik yang bersembunyi di balik topeng singa yang agung, sebuah topeng yang dipinjam dari kesalahpahaman publik terhadap pemikiran Niccol Machiavelli. Kita tahu bahwa filsafat realisme politik Machiavelli yang kompleks telah direduksi menjadi tameng pembenaran bagi kaum oportunis, menciptakan bayang-bayang di mana para manipulator modern dapat berkembang tanpa terlihat sebagai penipu.

Machiavelli sering kali dipandang sebagai simbol realisme politik yang dingin dan rasional. Dalam magnum opusnya, Sang Pangeran (Il Principe), menyarankan seorang pemimpin untuk meneladani dua binatang: rubah dan singa. Singa perkasa dalam mengusir serigala (ancaman terbuka), tetapi buta terhadap perangkap. Sebaliknya, rubah cerdik dalam menghindari perangkap, tetapi tak berdaya melawan serigala. Dua metafora ini menggambarkan strategi kepemimpinan yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga kelicikan, kecerdikan, dan manipulasi.

Namun, dalam praktik sosial-politik modern, muncul pertanyaan mendalam: bagaimana jika rubah tidak sekadar licik, melainkan menyembunyikan diri dengan topeng singa?. Perlunya kita peka dan hati-hati dalam interaksi sosial sehari-hari bahkan dalam organisasi, sebab manipulator modern tidak selalu datang dengan kekerasan, mereka sering hadir dengan senyum, janji, dan citra kepemimpinan yang dikonstruksi secara artifisial.

Dalam Il Principe, Bab XVIII, ia menulis bahwa seorang pemimpin "tidak perlu benar-benar memiliki sifat-sifat baik, tetapi penting untuk tampak memilikinya". Filosofi dari kutipan ini, bahwa rubah yang memakai topeng singa hanyalah kelanjutan seni menyamarkan kepentingan pribadi dengan simbol-simbol kebajikan, kekuatan, dan keberanian. Di sinilah manipulasi bekerja, ketika kebenaran dibengkokkan demi tujuan strategis pribadi da kelompoknya.

Coba kita lihat pada ranah politik kontemporer saat ini, kita sering menyaksikan pemimpin yang memanfaatkan retorika kebangsaan, moralitas, atau bahkan agama untuk membungkus kepentingannya. Mereka tampil sebagai "singa" yang melindungi rakyat, padahal dalam kesehariannya mereka hanyalah "rubah" yang mencari keuntungan pribadi. Kekuatan mereka bukan semata dari intelektual dan karisma, tetapi dari kontrol narasi, propaganda, dan kemampuan memainkan psikologi massa.

Fenomena ini tentu berbahaya karena menciptakan ilusi legitimasi. Masyarakat sering terjebak dalam pesona topeng singa, tanpa menyadari bahwa kekuasaan sedang dikendalikan oleh liciknya rubah. Manipulasi semacam ini dapat berujung pada otoritarianisme terselubung, maka jangan heran jika sehari-hari yang mencul adalah berita korupsi, dan ketidakadilan. Maka, tugas kritis masyarakat adalah membongkar topeng itu, melihat siapa yang sebenarnya bersembunyi di baliknya.

Bagi Machiavelli, seorang pemimpin ideal harus memiliki kekuatan singa dan kelihaian rubah secara seimbang untuk menjaga stabilitas dan keselamatan negara. Namun, para manipulator modern memelintir nasihat ini. Mereka hanya mengambil esensi rubah, tipu daya, kelicikan, dan pengingkaran janji sambil mengenakan topeng singa berupa citra kekuatan, ketegasan, dan wibawa. Naasnya, mereka memisahkan kelihaian dari tanggung jawab, menggunakan siasat bukan untuk kebaikan negara, melainkan untuk kepentingan pribadi yang sempit.

Selaian itu, distorsi paling populer dari pemikiran Machiavelli adalah adagium "tujuan menghalalkan segala cara".  Padahal frasa ini, tidak ditulis secara eksplisit oleh Machiavelli, ini menjadi mantra bagi mereka yang ingin membenarkan tindakan amoral. Padahal konteks asli pemikiran Machiavelli adalah bahwa seorang pemimpin mungkin terpaksa melakukan tindakan yang dianggap 'jahat' seperti berbohong, dengan tujuan yang lebih besar, yaitu keselamatan dan kemakmuran rakyatnya. 'Tujuan' yang dimaksud adalah kelangsungan negara, bukan pemenuhan ambisi pribadi dan keluarga. Mirisnya, kaum manipulator membajak konsep ini dengan mengganti 'keselamatan negara' dengan 'keuntungan pribadi dan keluarga'.

Akibatnya, bayang-bayang Machiavelli terus menghantui era modern. Ketika seorang politisi menyebar hoaks untuk menjatuhkan lawan, mereka sering disebut "Machiavellian" yang pragmatis. Label ini secara keliru memberikan kesan adanya kedalaman strategis pada tindakan yang sebenarnya didasari oleh keserakahan atau keegoisan semata. Bayang-bayang inilah memberi perlindungan bagi si rubah. Dengan berlindung di balik nama besar seorang filsuf Renaisans, tindakan manipulatif mereka seolah terangkat dari sekadar penipuan murahan menjadi sebuah strategi politik yang canggih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline