Lihat ke Halaman Asli

ABDULLAH MUFID MUBARROK

Santri | Mahasiswa | Pesuluk | Pejalan | Penempuh

Jejak Lamongan di Suriname

Diperbarui: 4 Oktober 2021   01:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa orang Lamongan yang dipekerjakan di Guyana Belanda (Suriname). Foto: Arsip Nasional Belanda

Ketika Didi Kempot, seorang penyanyi yang khas dengan lagu-lagu Jawa meninggal dunia pada Selasa (5/5/2020) di Solo, bukan hanya kaum ambyar di Tanah Air yang berduka. Tetapi nun jauh di seberang, duka juga menyelimuti para penggemarnya yang warga negara Suriname. Di negara itu, Didi Kempot masyhur karena banyak keturunan Jawa yang menetap.

Cerita bermula pada akhir abad 19 silam. Mengutip jurnal ilmiah Julia Martnez dan Adrian Vickers berjudul Indonesians Overseas: Deep Histories and The View from Below, puluhan ribu orang Jawa dijadikan kuli kontrak di wilayah jajahan Belanda yang dahulu bernama Guyana Belanda.

Mereka dikapalkan secara bergilir mulai tahun 1890-an. Kapal yang membawa orang Jawa ke Guyana silih berganti datang sampai tahun 1939. Pemerintah Belanda menempatkan komunitas Jawa sebagai kuli perkebunan. Mereka datang hanya dengan kemampuan tenaga tanpa keterampilan hidup.

Generasi pertama Jawa di Suriname sebenarnya dijanjikan akan dikembalikan ke kampung halaman mereka. Namun hanya 8.000 orang yang kembali di Jawa. Sisanya menetap di Guyana, beranak pinak, dan menjadi warga negara Suriname setelah negeri itu merdeka tahun 1975.

Dari ribuan orang Jawa itu, 132 orang diantaranya ternyata berasal dari Lamongan. Kebanyakan dari Ngimbang, Kedungpring, dan Kembangbahu. Mungkin karena pada saat itu Belanda sudah banyak mempekerjakan mereka di perkebunan di wilayah Ngimbang dan sekitarnya.

Sebanyak 132 orang yang dikapalkan ke Suriname, ternyata berasal dari Lamongan. Foto: Arsip Nasional Belanda

Sampai saat ini foto dan data mereka masih disimpan di Arsip Nasional Belanda. Sebagian besar orang Lamongan ini berangkat ke sana awal tahun 1900-an, dengan masa kontrak lima tahun.

Dilihat dari data tinggi badan, buyut-buyut kita dulu kecil dan pendek-pendek. Yang perempuan banyak yang cuma 140-an cm. Yang laki-laki banyak yang cuma 150-an cm. Tampaknya karena kurang gizi. Mereka juga menikah di usia muda. Ada yang tertulis berumur 20 tahun tapi sudah bertatus "mbok."

Saat berangkat ke Suriname, mereka mungkin meninggalkan anak-anak di Tanah Air. Keluarganya juga barangkali tidak mengetahui secara pasti keberadaan meraka hingga bertahun-tahun. Karena kontraknya hanya sekitar 5 tahun, saat itu mereka pastinya berpikir akan kembali ke Lamongan.

Infografis: Abdullah Mufid MubarrokProdi Komunikasi, Universitas Siber Asia

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline