Mohon tunggu...
Amos Ursia
Amos Ursia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Guling" dan Kemanusiaan Mas Marco

16 Mei 2018   11:04 Diperbarui: 16 Mei 2018   11:38 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guling yang kita peluk itu menarik. Kita tidak akan menemukan akar kata guling dalam huruf Sansakerta atau Melayu Kuno. Sebab, guling itu berasal dari budaya Cina, dan sudah dari dahulu dipakai oleh kaum peranakan di Nusantara.

Menurut Pram, guling itu dipakai juga oleh laki laki Belanda yang tinggal di Hindia. Dalam roman "Jejak Langkah" ditulis, bahwa orang Belanda masa kolonial cukup pelit untuk "menggundik", walaupun mereka kesepian. Untuk menemani tidur, mereka memakai guling, sehingga Gubernur Raflles menamai guling sebagai "Dutch wife". Guling adalah fenomena unik karena menunjukan akar sejarah pelacuran dan hegemoni sosial budaya di Hindia Belanda.

Untuk memahami ide kemanusiaan di Hindia Belanda, kita perlu memahami akar sejarah dari hegemoni dan stigma terhadap masyarakat Pribumi itu sendiri. Stigma ini bisa kita lihat dalam sejarah pelacuran dan pergundikan. Gundik dan pelacur adalah realitas di Hindia Belanda, gundik biasanya disebut "Nyai". Nyai nyai ini dipilih dari kalangan kuli perkebunan atau kalangan pekerja kasar. Nyai nyai ini bertugas untuk mengajarkan kebudayaan setempat dan melayani kebutuhan seksual para pegawai kolonial, dari militer, pemerintahan, bahkan pengusaha. Intinya, pergundikan dan pelacuran adalah realitas sehari hari di Hindia Belanda. 

Pada era 1890 - 1920 terjadi imigrasi besar orang Eropa ke Hindia Belanda. Laki laki sebanyak 200% dan perempuan sebanyak 300%. Hal ini menyebabkan gejala "Eropanisasi" di Hindia, segala hal yang bercorak Eropa dianggap baik dan luhur. Hal ini juga menimbulkan asumsi budaya, bahwa wanita Eropa dipandang sebagai puncak peradaban Barat (Hellwig, 2007).

Istri (simpanan) yang pribumi, dan Nyai nyai itu, dianggap immoral dan hina. Bukan keinginan hati para Nyai ingin dijadikan objek, tetapi pada akhirnya mereka adalah korban hegemoni dan stigma. Dan akhirnya golongan "inlander" mendapat stigma immoral dan menjijikan, sehingga pribumi tidak dipandang dalam struktur sosial masyarakat Hindia Belanda.

Cinta dan nilai kemanusiaan menjadi sangat terbatas dalam kerangka etnis dan ras manusia. Saya mengukur nilai kemanusiaan dari perspektif sejarah pelacuran karena anggapan sosial seorang manusia diukur dari penilaian masyarakat terhadap perempuan. Sebuah perspektif yang jarang dilihat secara cermat.

Lalu apa hubungan nya dengan sastra?

Di masa itu, tepat nya tahun 1919, ada sebuah roman yang ditulis. Roman ini adalah bentuk rekonstruksi terhadap stigma sosial masa itu. Roman ini menyiratkan bahwa manusia tidak perlu dibeda bedakan, dan cinta manusia melampaui perbedaan.

Roman ini berjudul "Student Hidjo" karya Mas Marco Kartodikromo. Karya ini bercerita tentang seorang intelektual pribumi bernama Hidjo yang berangkat ke Belanda untuk melanjutkan sekolah nya. Di Belanda, Hidjo melihat realitas kesetaraan manusia yang tidak pernah dialaminya. Singkat cerita, Ia mencintai gadis Belanda bernama Betje, gadis itu pun mencintai nya. Betje adalah gadis Belanda murni! Ini adalah klimaks cerita dan pertemuan realitas dengan ide kemanusiaan. Penulis secara sarkastik membongkar semua stigma kemanusiaan baik dari perspektif Belanda maupun Pribumi. Saya akan mengutip point penting,

".. Betje merasa bangga hatinya saat duduk di dalam tram berjejer dengan Hidjo, seorang Jawa berkulit sawo matang.."

".. Sajak saat itu pergaulan Betje dan Hidjo semakin intim.."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun