Setelah tiga tahun bekerja, Saidjah kembali ke kampungnya. Namun Adinda dan ayahnya sudah tak ada di kampung itu. Ayah dan anak itu lari karena tak bisa membayar pajak tanah.
Kabar beredar, Adinda dan ayahnya bergabung untuk melawan tentara Belanda di Lampung. Saidjah mencoba pun menapaki jejak mereka. Dengan perahu belian, diarunginya lautan, namun pencarian ternyata berbuah pahit.Â
Dalam sebuah pertempuran dia menemukan Adinda sudah meninggal. Tubuhnya penuh luka dan diperkosa tentara Belanda.
Melihat itu, Saidjah mengamuk. Saidjah berlari ke arah sekumpulan tentara Belanda yang menghunus bayonet. Saidjah meninggal tragis.
Adinda dan Saidjah tewas. Cinta mereka yang ditunggu berakhir dengan tragis. Masa remaja yang menyedihkan.
Kalau Dilan hidup tahun 1850 an, ia akan menjadi buruh atau pengurus kuda di Batavia, dan Milea mungkin akan senasib dengan Adinda. Kisah Saidjah Adinda ini adalah bukti bahwa sastra tidak hanya berfungsi sebagai "media romantika" saja, sastra adalah media untuk menyuarakan keadilan didepan mata kita. Lalu, sastrawan bukan hanya hidup untuk mencari rupiah dari setiap kata yang ditulis, tetapi sastrawan hidup untuk menyuarakan kisah Saidjah Adinda yang masih ada hari ini. Ya 2018. Kisah Saidjah Adinda adalah realitas, dimana keadilan adalah kisah ironis yang menyedihkan.
Setiap hari banyak "Saidjah Adinda baru"di Indonesia, dan sebaik nya para penulis best seller lebih punya telinga yang cukup tajam untuk mendengar penderitaan Saidjah Adinda masa kini.