Padahal, bagi Freire, berpikir adalah hak sekaligus kewajiban manusia. Manusia yang tidak berpikir berarti menyerahkan kemanusiaannya. Ia membiarkan dirinya menjadi objek dari sistem yang seharusnya bisa ia ubah.
Relevansi untuk Masyarakat Kita
Jika kita melihat kondisi sosial hari ini, gagasan Freire terasa semakin relevan. Di era media sosial, kita mudah sekali bereaksi terhadap isu tanpa benar-benar berpikir. Banyak orang lebih cepat marah daripada merenung, lebih cepat menuduh daripada memahami.
Berpikir yang diajarkan Freire bukan berpikir cepat, melainkan berpikir sadar. Ia mengajak kita berhenti sejenak, menimbang realitas, mengajukan pertanyaan yang sulit, lalu bertindak dengan kesadaran penuh.
Dalam dunia pendidikan, gagasan ini juga penting. Guru bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, melainkan fasilitator yang menghidupkan dialog. Murid tidak boleh diposisikan sebagai pendengar, tetapi sebagai subjek yang berpikir. Ketika ruang kelas menjadi ruang percakapan yang hidup, di sanalah benih-benih kesadaran tumbuh.
Berpikir sebagai Kewajiban Moral
Pada akhirnya, berpikir bagi Freire adalah tindakan moral. Berpikir bukan sekadar latihan logika atau debat intelektual, tetapi panggilan untuk menjadi manusia yang sadar dan peduli terhadap penderitaan orang lain.
Berpikir berarti menolak kebisuan. Berpikir berarti menolak hidup dalam ketidakadilan. Berpikir berarti berani melihat dunia apa adanya, lalu berusaha menjadikannya lebih manusiawi.
Manusia yang tidak berpikir akan dengan mudah diarahkan, dikendalikan, dan dipaksa mengikuti arus. Sementara manusia yang berpikir, akan bertanya, menggugat, dan mencari makna. Dalam diri orang yang berpikir itulah kebebasan bermula.
Penutup
Paulo Freire mengingatkan kita bahwa berpikir bukanlah kemewahan para intelektual, melainkan hakikat setiap manusia. Dalam setiap refleksi yang jujur dan tindakan yang sadar, manusia sedang menegaskan kemanusiaannya sendiri.