Mungkin sudah seratus kali aku melihat Pak Danu menghitung koin-koin itu. Koin-koin lusuh berwarna keemasan, beberapa di antaranya sudah menghitam, memenuhi telapak tangannya yang keriput. Setiap hari, di bangku taman yang sama, ia akan mengeluarkan kantong beludru kecil, menumpahkan isinya, lalu mulai menghitung. Satu, dua, tiga... sampai ia tiba pada angka yang entah kenapa tak pernah berubah.
Aku, seorang mahasiswa yang sering menghabiskan sore di taman itu untuk mengerjakan tugas, hanya bisa mengamati. Terkadang aku penasaran, apa yang ia hitung? Apa yang ia nantikan?
Suatu sore, hujan turun rintik-rintik. Aku buru-buru menutup laptopku. Pak Danu, yang tak bergeming dari bangkunya, menoleh ke arahku. Sebuah senyum tipis terlukis di wajahnya.
"Nak, mau ke mana?" suaranya serak tapi hangat.
Aku agak terkejut. Ini pertama kalinya ia menyapaku. "Mau pulang, Pak. Hujan."
"Jangan buru-buru. Tunggu sebentar," katanya sambil menunjuk bangku di sampingnya. "Tugasku belum selesai."
Aku ragu, tapi akhirnya duduk. Ia kembali fokus pada koin-koin di tangannya.
"Ini tabunganku," katanya tanpa menoleh. "Untuk membeli sebuah kenangan."
"Kenangan?" aku bertanya, tak mengerti.
"Ya. Untuk membeli sepasang sepatu roda. Sepatu roda yang dulu aku janjikan pada anakku."