Ia kembali ke tokonya dengan perasaan hampa. Jam saku itu kini terasa seperti beban, bukan lagi anugerah. Ia menyadari, kekuatan untuk menghentikan waktu juga menghentikan dirinya. Ia terperangkap dalam kesendirian yang abadi.
Arka menatap jam itu. Ia tahu ia harus membuat pilihan. Ia tidak ingin lagi menjadi satu-satunya orang yang hidup di antara patung-patung yang membeku. Ia merindukan tawa, tangis, dan kehangatan yang nyata.
Dengan tangan gemetar, ia membuka jendela tokonya dan melemparkan jam itu sejauh mungkin. Jam perak itu terpental, lalu menghilang di antara kegelapan malam. Seketika, Arka merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia kembali menjadi Arka yang biasa, yang hidupnya monoton, tetapi setidaknya, ia tidak sendirian.
Keesokan harinya, saat ia membuka toko, ia melihat Maya, wanita yang ditemuinya kemarin, berdiri di depan tokonya. Ia tersenyum, dan senyum itu terasa sangat hangat bagi Arka.
"Maaf mengganggu," kata Maya. "Apakah Anda memiliki jam saku kuno? Saya rasa saya kehilangan milik ayah saya di sekitar sini."
Arka tersenyum. "Sepertinya tidak ada. Tapi saya punya banyak barang antik yang menarik, dan saya bisa menemanimu mencarinya. Siapa tahu, kita bisa menemukan hal-hal yang lebih berharga daripada waktu yang membeku."
Maya tertawa kecil. "Kedengarannya menarik. Aku suka itu."
Dan di antara tawa dan percakapan mereka, Arka tahu, ia tidak lagi membutuhkan jam saku untuk menghentikan waktu. Karena bersamanya, waktu terasa berhenti, tetapi dengan cara yang paling menyenangka
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI