Sinar matahari pagi menembus celah-celah dinding kayu, menerangi debu-debu yang menari di udara. Ruangan itu sederhana, dengan lantai tanah, beberapa bangku reot, dan sebuah papan tulis yang sudah usang. Di hadapan sembilan anak-anak dengan mata berbinar, berdiri seorang guru muda bernama Raka. Ia baru dua bulan mengajar di SDN Mekar Jaya, sebuah sekolah di desa terpencil yang jauh dari hiruk pikuk kota.
Raka tersenyum. "Selamat pagi, anak-anak!" sapanya.
"Selamat pagi, Pak Guru!" jawab anak-anak itu serempak, penuh semangat.
Pelajaran hari ini adalah tentang cita-cita. Raka meminta mereka untuk menuliskan apa yang mereka impikan di masa depan. Ada yang menulis ingin menjadi petani sukses, ada yang ingin menjadi nelayan, dan ada pula yang ingin menjadi pedagang. Namun, Raka melihat Sari, seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua, hanya menunduk dan tidak menulis apa pun.
Raka menghampirinya. "Sari, kenapa tidak menulis?" tanyanya lembut.
Sari mengangkat wajahnya. Matanya yang polos menatap Raka. "Saya tidak punya cita-cita, Pak Guru."
"Kenapa begitu?"
"Untuk apa? Nanti juga saya akan bantu Bapak di ladang," jawab Sari, suaranya pelan dan penuh keraguan.
Hati Raka tergerak. Ia tahu, banyak anak di desa ini yang merasa masa depan mereka sudah ditentukan oleh keadaan. Pendidikan sering kali dianggap tidak penting, hanya sekadar formalitas sebelum mereka kembali ke sawah atau melaut.
Raka kembali ke depan kelas. Ia mengambil sebatang kapur dan mulai menggambar di papan tulis yang usang. Ia tidak menggambar pemandangan indah atau bunga-bunga, melainkan sebuah peta. Di ujung peta itu, ia menggambar sebuah bintang kecil.
"Anak-anak," katanya, suaranya tegas namun menenangkan. "Anggap saja ini desa kita. Dan ini, bintang kecil ini, adalah mimpi kalian."
Ia melanjutkan, "Jalan menuju bintang ini mungkin tidak mudah. Ada gunung-gunung yang harus kalian lewati, ada sungai-sungai yang harus kalian seberangi. Tapi, setiap ilmu yang kalian dapat di sini, setiap huruf yang kalian baca, dan setiap angka yang kalian hitung, adalah langkah-langkah yang akan membawa kalian semakin dekat ke bintang itu."
Sari mendengarkan dengan saksama. Ia menatap peta dan bintang kecil yang digambar Raka. Ada secercah harapan yang mulai menyala di dalam hatinya.
Raka menoleh ke arah Sari. "Sari, Bapak tidak meminta kamu untuk menjadi astronot atau insinyur. Bapak hanya ingin kamu percaya bahwa kamu punya pilihan. Kamu bisa menjadi petani, tapi kamu bisa menjadi petani yang paling hebat, yang tahu cara membuat sawahmu lebih subur. Kamu bisa menjadi pedagang, tapi kamu bisa menjadi pedagang yang jujur dan sukses."
Sari perlahan-lahan mengambil kapur dan mulai menulis di bukunya. Di halaman yang kosong, ia menulis, "Saya ingin menjadi petani yang pintar."
Melihat itu, Raka tersenyum. Ia tahu, pendidikan bukan hanya tentang angka dan huruf, tapi tentang menumbuhkan keyakinan bahwa setiap anak memiliki hak untuk bermimpi, dan setiap mimpi, tidak peduli seberapa kecil, layak untuk dikejar.
Di bawah sinar mentari yang semakin terik, Raka tidak lagi melihat sembilan murid yang duduk di bangku reot. Ia melihat sembilan bintang kecil, yang suatu hari nanti akan bersinar terang di langit desanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
