Mohon tunggu...
Amiroh Untsal Asad
Amiroh Untsal Asad Mohon Tunggu... Freelancer - Bebaskan dan abadikan pemikiranmu dalam tulisan!

Saya adalah mahasiswa psikologi Universitas Airlangga yang menjadikan Kompasiana sebagai platform untuk menuliskan pemikiran saya seputar politik, sosial, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Apakah Membebaskan Napi adalah Tindakan yang Tepat? [Opini]

22 April 2020   22:16 Diperbarui: 23 April 2020   06:43 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah pandemi yang sedang melanda negeri ini, pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan guna tercapainya stabilitas di berbagai sektor. Berbagai langkah ini juga dilakukan sebagai tanggapan yang tepat untuk mendukung terselesaikannya masalah wabah Covid-19 yang menjadi-jadi. Mulai dari kebijakan yang dilakukan oleh Bapak Presiden Jokowi sendiri, maupun dari jajaran menteri-menterinya melalui berbagai program mereka.

Salah satu kebijakan yang dianggap kontroversial dari menteri-menteri saat ini adalah kebijakan dari Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menanggapi wabah Covid-19 ini, Menkumham melalui program asimilasi dan integrasi, memutuskan untuk membebaskan para narapidana. 

Rika Aprianti, selaku Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkum HAM mengatakan bahwa data per 20 April, total napi yang bebas sudah mencapai 38.822 orang.  Jumlah napi yang bebas itu sendiri terdiri atas napi umum dan napi anak dari 525 UPT lapas di seluruh Indonesia.

Masyarakat dalam menanggapi kebijakan Menkumham banyak yang melontarkan mosi tidak percaya. Banyak dari mereka  yang beranggapan bahwa tindakan tersebut justru memperluas angka kriminalitas dan menanyakan berbagai hal yang mungkin terjadi atau yang seharusnya dilakukan pemerintah, khususnya Menkumham dalam menetapkan kebijakan ini. 

Mereka juga berdalih tentang mengapa Menkumham tidak mengetatkan jalur pengunjung lapas atau melakukan rapid test kepada para narapidana, padahal toh kata mereka, wilayah tinggal napi berada dalam satu kawasan. Selain itu, banyak dari mereka, terutama yang ramai berkicau di media sosial yang sangat subjektif dan provokatif terhadap Yasonna Laoly sendiri. 

Latar belakang beliau sebagai politisi PDIP kembali diungkit disertai pendapat mereka yang menyatakan beliau tidak pantas menduduki jabatan menteri dan dianggap aji mumpung dalam masalah ini. Terlebih, kasus yang kemudian muncul setelah kebijakan ini dikeluarkan juga menuai banyak kontra, seperti ditemukannya napi yang kembali berulah dan beredarnya pungli atau pungutan liar yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. 

Dengan beredarnya berbagai pertanyaan dan pro kontra yang beredar, penulis mencoba membahas dan memaparkan opini yang dirasa telah cukup objektif dan berusaha untuk menganalisa kebijakan ini dengan cermat.

Pertama, masyarakat perlu mencermati kembali alasan mengapa kemudian Menkumham mengambil kebijakan ini. Bukan hanya menyoal tentang penularan Covid-19 saja, Menkumham pastinya memiliki pertimbangan-pertimbangan yang matang dalam menyusun kebijakan ini. Jika kita membedah kembali soal penularan Covid-19, hal ini terbilang masuk akal karena tindakan preventif dalam menghadapi virus ini harus segera dilakukan berdasarkan kepada asas kemanusiaan, sesuai dengan pancasila sila kedua. 

Jika ditanyakan mengapa Menkumham tidak mengetatkan jalur pengunjung saja dan melakukan rapid test, maka hal ini dapat dijawab dengan berbagai pertimbangan. Jika hanya dilakukan pengetatan saja, maka hal itu dinilai kurang efektif dikarenakan cepatnya penularan virus dan sistem penjagaan yang berpotensi besar tidak maksimal. 

Selain itu, rapid test yang efektif untuk pencegahan dini virus terhadap banyak orang, memiliki kelemahan yang cukup besar, yakni tidak akuratnya model tes ini. Sedangkan CPR test sendiri yang dinilai lebih akurat, membutuhkan waktu yang lama dan terbatas. 

Selain itu, program asimilasi dan integrasi ini juga berkiblat pada anjuran dari Komisi Tinggi PBB untuk HAM  dan sub-komite PBB Anti Penyiksaan dan telah dilakukan juga oleh banyak negara sebagai tanggapan dari wabah ini. Contohnya saja Italia yang membebaskan 3000 napi, ada Iran yang meloloskan 85.000 napi, dan juga Brazil yang membukakan pintu untuk 34.000 napi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun