Khas wilayah Nusa Tenggara yang didominasi rumput dan ilalang, dengan udara yang cukup kering tanpa rimbunan pepohonan tempat berteduh, perjalanan mendaki juga cukup menguji semangat.
Dan sesampai di ujung pendakian, panorama yang terhampar memang luar biasa.Â
Pasir yang memendarkan warna pink diterpa sinar matahari dan dengan lekuk pantai yang eksotis, tidak heran banyak yang ingin mendaki ke sini. Apalagi kalau ingin mendapatkan spot selfie yang unik.
Selepas mengikuti beberapa acara keluarga di kota Labuhan Bajo ini, kami meneruskan perjalanan ke arah timur. Tujuan kami adalah perbatasan Manggarai dan Manggarai Timur tepatnya di Kecamatan Reo yang kalau tidak salah kampung halamannya Pak Menteri Jhony Plate.
Perjalanan darat yang kami tempuh menyusuri punggung bukit dan gunung sehingga didominasi oleh jalan yang berkelok-kelok nyaris tanpa putus.Â
Selama sekitar 5 jam perjalanan, gambaran Nusa Tenggara sebagai daerah yang kering, tandus dan hanya dipenuhi oleh savana terpatahkan oleh pemandangan hamparan alam yang subur.
Saya menemukan jawaban kenapa pulau ini dinamakan Flores yang berarti bunga oleh bangsa Portugis dulu. Keindahan panorama alamnya yang sesekali menampakkan persawahan bertingkat (terasering) membuat perjalanan 5 jam tidak terlalu terasa membosankan. Sesekali kami berpapasan dengan rombongan anak yang pulang dari sekolah Minggu di gereja.
Kehidupan yang lebih berwarna juga terasa sesampainya kami di Reo. Keindahan yang mengalir bersama keteduhan.Â
Kami memilih destinasi Reo, selain karena ada keluarga yang menetap di sana, juga karena kami berencana memilih rute kembali ke Pulau Sumbawa melalui Pelabuhan Kedindi di Reo ini dengan menumpang kapal Sabuk Nusantara, semacam kapal perintis.