Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sesat Nalar, Sesat Bertindak

7 Juli 2020   14:32 Diperbarui: 7 Juli 2020   15:58 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Photo by Miguel . Padrin from Pexels)

Membuka buku lama tentang logika dari RG Soekadijo yang berjudul Logika Dasar, entah kapan saya beli dan kapan terakhir sebelumnya saya baca, terasa ada sesuatu yang menarik untuk membaca dan menelaahnya kembali. 

Kepengapan akibat banjir informasi akhir-akhir ini mendorong hati untuk menyegarkan nafas kembali. Kesumpekan akibat hujan narasi memantik keinginan untuk sejenak menepi untuk menghela udara segar.

Terlalu banyak data terkadang berarti ketiadaan informasi yang jelas.

Terlalu banyak ujaran terkadang berarti kehilangan pikiran yang jernih.

Terlalu banyak penjelasan terkadang berarti ketidakjelasan apa yang hendak dijelaskan.

Meminjam istilah disrupsi yang banyak disematkan dalam beragam hal, disrupsi wacana di publik juga sedang terjadi. Perkembangan dan kemajuan teknologi dan informasi menyediakan lahan subur bagi bersemainya segala macam bibit. 

Bibit yang baik dan bermanfaat tumbuh bersama bibit yang membawa racun dan duri. Memanfaatkan rabuk dari media tanam yang sama, keduanya tumbuh bersama.

Perhatikan, ketika masih pada awal-awal bertunas dan mengeluarkan daun pertamanya, hampir semua tanaman menampakkan bentuk daun yang serupa. 

Tanaman bermanfaat dan tanaman gulma bersama-sama memamerkan kesegaran pandangan. Kesegaran yang diwariskan dari jiwa semesta sekilas menjanjikan kesegaran jiwa bagi yang menatapnya. 

Namun seiring bergulirnya waktu, bertambahnya hembusan angin dan berubah-ubahnya tingkat paparan dari matahari perlahan-lahan menampakkan bentuk dan ciri sebenarnya dari tanaman yang diwariskan dari benih masing-masing induknya.

Sayangnya hanya pengetahuan dan pengalaman lah yang memampukan kita untuk membedakan mana tumbuhan yang akan menyehatkan dan mana tumbuhan yang akan menyakitkan. 

Menurut para ahli, tanaman jenis jamur akan semakin berbahaya racunnya apabila penampakannya semakin cerlang cemerlang warnanya. Tanaman mawar semakin berumur semakin banyak memberikan bunga namun durinya juga semakin mengeras.

Demikian pula halnya dalam mengamati bermekarannya pendapat, pandangan, komentar dan narasi di ruang publik. Wacana beracun dan wacana bergizi tumbuh dan bermekaran di ruang yang sama yaitu ruang publik. Membendung pemikiran, yang diasumsikan melatari wacana, sama saja dengan keinginan membendung tanaman tumbuh.

Sepanjang asupan gizi dari tanah tersedia maka sepanjang itu pula bermacam tanaman tumbuh. Sepanjang asupan isu dari ranah publik masih ada maka sepanjang itu pula bermacam wacana akan bertumbuhan dan mungkin bersama sawala (perdebatan) yang menyertainya. Memotong atau mencabutinya hanya perkara menunda waktu alias pekerjaan sia-sia. 

Hilangkan gizi tanah atau singkirkan tanahnya sekalian baru perkara bertumbuhan beragam tanaman akan selesai namun itu juga berarti tidak akan tumbuhnya tanaman bermanfaat. Hilangkan media ekspresi pikiran maka perkara selesai namun selesai juga eksistensi manusia sebagai makhluk berfikir.

Beranalogi dari contoh pada dunia tumbuhan, kemampuan menilai tanaman bergizi dan menghindarkan diri dari tanaman bergizi akan kembali kepada kemampuan individu untuk memilih dan memilah keduanya. 

Kemampuan menilai wacana bergizi dan menghindari wacana berduri menggambarkan kemampuan kontemplasi seseorang. Pengetahuan dan pengalaman menjadi landasan penting untuk melakukan hal tersebut yang tergambarkan dari tingkat literasi seseorang. Pengalaman berakumulasi dari kejadian masa lalu yang apabila dikonstruksi secara utuh akan membentuk pengetahuan.

Manusia memiliki kapasitas memori yang sangat luar biasa. Dikutip dari scientificamerican, Paul Reber, guru besar psikologi di Universitas Northwestern menyebutkan bahwa memori manusia memiliki kapasitas setara 2,5 petabyte atau 2,5 juta gigabyte. 

Kapasitas ini memampukan memori manusia menampung setara file untuk 3 juta jam siaran televisi! Dengan kata lain apabila diibaratkan televisi, kapasitas penyimpanan memori manusia setara materi siaran televisi yang hidup selama 300 tahun.

Namun beliau juga menyebutkan bahwa kapasitas memori otak manusia yang tepat sebenarnya sulit untuk dihitung. Pertama, kita tidak tahu bagaimana mengukur ukuran memori. 

Kedua, ingatan tertentu melibatkan lebih banyak detail dan karenanya mengambil lebih banyak ruang, tapi ada juga kejadian yang dilupakan dan dengan demikian membebaskan ruang. Selain itu, beberapa informasi tidak layak diingat sejak awal. Bagaimana dengan kenangan terhadap mantan? He he, no comment.

Dengan kapasitas penyimpanan yang luar biasa tersebut, masalah atau tantangan manusia sebenarnya adalah pada cara mengelola memori. Apakah memori yang tersimpan dapat digunakan untuk belajar menghadapi situasi dan tantangan baru? 

Disrupsi dapat dimaknai sebagai tantangan dan akumulasi memori dapat digunakan sebagai bekal untuk memilih dan memilah respon terhadap tantangan tersebut. 

Proses ini berlangsung dalam sebuah aktifitas yang kemudian menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lain. Proses tersebut adalah berfikir yang secara teknis dapat disebut sebagai penalaran.

Sejumlah memori yang dianggap relevan dengan situasi akan diaktifkan dari penyimpanan untuk digunakan melalu serangkaian metode tertentu, yang sering tidak kita sadari keberlangsungannya, sehingga sampai pada suatu simpulan yang akan menentukan keputusan akhir. Memetik bunga mawar dengan pemahaman tertentu dan kesadaran akan kemungkinan tertusuk duri merupakan hasil dari proses tersebut.

Kemampuan inilah yang memungkinkan spesies manusia masih mampu bertahan sampai hari ini meski secara fisik bukanlah makhluk terkuat di muka planet ini. Ketika berbicara tentang pewarisan antar generasi maka akumulasi memori kolektif dan individu dari generasi pendahulu yang diolah dengan kemampuan berlogika atau bernalar yang utuh merupakan jaminan bahwa eksistensi manusia masih akan terus berlangsung di masa depan.

Pendidikan merupakan arena tempat kemampuan tersebut diasah. Warisan dari generasi pendahulu memperkaya memori sebagai salah satu bahan baku pembentuk pengetahuan. 

Bahan baku lain yang muncul dari tantangan lingkungan hanya akan bisa diakumulasi dan bersama dengan tabungan memori digabungkan dalam formulasi yang runut. Pendidikan dalam konteks ini tidak dimaknai sebatas persekolahan namun pendidikan yang berlangsung terus menerus sepanjang hayat.

Fenomena hoaks, menyebarnya rasa kebencian antar kelompok ataupun klaim eksklusifitas kelompok tertentu di atas kelompok yang lain nyatanya sering dibumbui dan diperparah oleh hujan ungkapan dan banjir wacana di ruang publik yang barangkali karena kurang optimalnya menggali memori membuat banyak orang yang tertusuk duri dari pohon mawar. Alih-alih mendapat harum semerbak bunga mawar, yang timbul justru darah dari tubuh yang tertusuk durinya.

Sulit dipungkiri bahwa persekolahan kita selama ini tidak cukup optimal mengasah kemampuan berlogika peserta didik. Persekolahan juga tidak cukup optimal memberi ruang peserta didik berlatih mengutarakan pikiran secara runut. Persekolahan bahkan tidak menyukai apabila ada peserta didik yang berdebat. 

Konotasi debat selalu mengarah kepada kegaduhan yang mengganggu suasana belajar. Belajar dipandang hanya bisa berlangsung dalam suasana hening, padahal dalam dunia nyata keheningan semacam itu merupakan hal yang langka.

Padahal seberapa jauh sih pendidik bisa mengendalikan pikiran anak-anak dalam suasana hening? Adolf Hitler siapa yang tidak kenal? Hitler kecil justru merupakan gambaran sempurna seorang murid yang santun dalam kelas. 

Dalam kelas Hitler kecil duduk dengan tenang, tekun dan tertib mengikuti pelajaran dari gurunya dan matanya berbinar-binar terutama saat mengikuti pelajaran sejarah. Tidak ada yang menyangka saat itu bahwa Hitler sedang mulai membangun konstruksinya sendiri tentang keagungan Jerman dengan konsep Ras Aria-nya yang dia anggap unggul. 

Kekalahan Jerman dalam Perang Dunia Pertama ternyata sangat membekas dan membangkitkan rasa pedih yang menusuk jantungnya. Memori yang diwariskan melalui proses pembelajaran itu merangsang Hitler untuk menuntut balas dan selanjutnya seperti apa sepak terjang Adolf Hitler dalam Perang Dunia Kedua kita semua sudah tahu.

Bagian terakhir ini mungkin lebih tepat diuraikan lebih jauh dalam konteks filsafat pendidikan dan dengan perspektif teknik pembelajaran. Tulisan ini lebih kepada menggugah kepada pertanyaan kenapa kita sering gagal memilah dan memilih respon yang tepat yang memampukan kita mampu memilih tanaman bergizi ketimbang tanaman berduri.

Jika kembali kepada tawaran bernalar sebagaimana diajarkan oleh teknik logika, yang merupakan isi dari buku yang saya maksud di bagian awal tulisan ini, ternyata

ada banyak potensi dan kejadian kesesatan berfikir yang sering tanpa sadar kita lakukan. 

Keseimpulan yang meyimpang karena diambil berdasarkan rasa takut kepada kekuasaan (argumentum ad baculum), kesimpulan sesat karena belas kasihan atau simpati (argumentum ad misericordiam), kesimpulan menyimpang karena eksploitasi perasaan publik (argumentum ad populum) ataupun kesimpulan sesat karena tidak berkaitan langsungnya premis dan simpulan (ignoratio elenchi). 

Dibungkus dengan uraian yang berkilau terkadang kita tidak bisa mendeteksi paralogis, penalaran yang kelihatan logis padahal sebenarnya tidak memenuhi kaidah logika, yang berseliweran di media dan ruang publik. Jelang Pemilukada nanti sepertinya kita akan banyak mendapat contoh dari suguhan para juru kampanye, atau mungkin anda bagian dari tim kampanye?

Mungkin karena pelajaran logika disampaikan sebagai bagian dari pelajaran matematika membuat kita jeri menelaahnya di bangku sekolah. Ups kembali ke pendidikan lagi ternyata. Belum lagi saran menggunakan simbol sebagai ganti pernyataan dalam kalimat biasa terkesan memutus kita dari dunia nyata. 

Jika A adalah B dan B adalah C maka A adalah C contohnya. Padahal penggunaan simbol merupakan salah satu cara logika membersihkan muatan-muatan yang tidak penting dari rangkaian pernyataan.

Selain jebakan kesesatan yang sepintas terlihat logis, salah hal yang juga sering membawa kepada kesesatan tersebut adalah kegagalan mendeteksi klasifikasi dari pernyataan tertentu. Kegagalan deteksi ini akan membawa kepada pemahaman konsep yang tidak utuh beserta segala rangkaian rujukannya.

Menyetarakan pernyataan tentang kucing, misalnya, dengan konsep binatang secara umum adalah contoh kegagalan klasifikasi dimaksud. Atau lebih sempit lagi menyamakan semua jenis kucing antara kucing rumahan dan kucing hutan juga sering tanpa sadar kita lakukan karena kegagalan mengenali bahwa harimau pun sebenarnya termasuk klasifikasi kucing juga.

Tanpa bermaksud mengajarkan logika kepada pembaca semua, karena saya juga masih belajar tentang ini, kondisi dan situasi semacam ini seringkali terjadi dan celakanya tanpa sadar kita jadikan sebagai dasar untuk menghujat dan acuan dalam bertindak. Jadilah riuh rendah silang pendapat di antara para pembicara yang tidak memiliki kemampuan saling mendengar. Atau ibarat perdebatan sekelompok orang buta yang mendeskripsikan tentang gajah.

Terkadang masalah yang meluas bukan karena pokok masalahnya sendiri, tapi karena masalah dalam cara melakukan pembahasan masalah nya sendiri. Semakin dirinci semakin jauh dari hadirnya kesepakatan bersama. Tapi media terkadang lebih membutuhkan perdebatan semacam ini karena bisa memancing penonton lebih betah. 

Tinggal kembali kepada publik atau kita semua, apakah kita punya cukup bekal untuk mendudukkan pokok perbincangannya ke akar semula? Tanpa bekal yang cukup, sangat dimungkinkan kita akan juga seperti guru jaman dahulu itu yang tidak betah dengan perdebatan murid dalam kelas.

Mudah-mudahan tulisan ini juga bisa memenuhi kaidah berlogika, sekalipun sedikit sekali, agar tidak justru membawa kesesatan baru kepada pembaca sekalian.

Salam literasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun