Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Robohnya (Dinding) Sekolah Kami

3 April 2020   16:20 Diperbarui: 4 April 2020   05:05 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menunggu jam belajar (Dokumentasi pribadi)

Menarik mengikuti luapan rasa antusias teman-teman yang menyelenggarakan belajar dari rumah gegara Pandemi Covid-19. Ragam meme dan celoteh yang beredar melalui media sosial menggambarkan ada sesuatu yang baru, sebagiannya merasa asing, yang hari-hari ini menjadi bagian dari keseharian. Disrupsi yang harus diresapi, apa boleh buat.

Sisi menarik dari disrupsi ini karena kita semua sekarang mendadak digital termasuk emak-emak yang gelisah dengan paparan informasi Covid-19. 

Budaya digital, kalau sudah bisa dikategorikan budaya, yang dulunya cuma jadi pembicaraan pengisi waktu senggang, dibincangkan tapi tidak ada kewajiban untuk dilakukan. 

Kalaupun ada, pejabat yeng mendorong-dorong agar kita memanfaatkan peluang digitalisasi itu, yah anggap juga sebagai pengisi waktu senggang karena ketika turun dari podium belum tentu juga beliau berperilaku digital. Apalagi kalau naskah pidatonya tadi masih dibawakan ajudan, ha ha ha.

Teman guru merasakan betapa bermanfaatnya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk menyampaikan materi belajar dan tugas kepada para murid. 

Unggah (upload), teruskan (forward) atau bagi (share) menjadi aktivitas yang perlu ditambahkan ke dalam strategi pembelajaran yang dulu disiapkan di awal musim belajar. 

Ketika saatnya tiba untuk memeriksa jawaban atau hasil belajar murid, tambahkan lagi aktivitas unduh (download). Interaksi guru dan murid kini difasilitasi oleh mesin dan berjalan melalui rangkaian logika biner yang bisa jadi tak disadari oleh rekan tadi.

Bagi pemangku kepentingan pendidikan, saat-saat inilah terasa betapa infrastruktur yang selama ini dibangun bukanlah infrastruktur yang optimal untuk aktivitas digital, malah infrastruktur gaya kolonial. Gaya kolonial yang saya maksud adalah praktik yang mendahulukan ketaatan, kepatuhan dan kesesuaian dengan tata krama bagi semua warga.

Pos jaga untuk satpam adalah contoh ikon untuk melihat ciri kolonial, meski syukurnya tidak semua mampu menyediakan pos keamanan begini. Lapangan upacara luas ditambah pagar keliling tinggi yang seringnya dihubungkan dengan proses peningkatan disiplin bisa dimaknai sebagai warisan kolonial. Tapi kalau memperhatikan foto-foto zaman dahulu sepertinya tidak ada sekolah yang berpagar keliling tinggi, yang ada hanya halaman luas tanpa tiang bendera untuk upacara.

Diksi yang sering terdengar dari pendekatan model kolonial adalah diksi yang menempatkan satu warga menjadi subordinat dari warga lain. 

Narasi yang dikembangkan adalah narasi yang menjaga bahwa komunitas belajar adalah komunitas yang patuh kepada tujuan ideologis pihak berkuasa. Dengan melihat belajar dan bersekolah sebagai relasi antar aktor, maka kita dapat menilai frase, misalnya, "menanamkan" nilai luhur, kepribadian unggul, perilaku mulia dan sejenisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun