Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Deteksi Covid-19, Deteksi Literasi Publik

5 Maret 2020   15:16 Diperbarui: 5 Maret 2020   15:16 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya Corona (Covid-19) resmi hadir di negeri ini. Tak tanggung-tanggung, Presiden RI sendiri yang mengumumkannya. Pengumuman itu mengakhiri rumor, skeptis dan sinis sebagian publik yang sebelumnya menyelimuti ruang publik. Jagat maya yang sebelumnya dijejali potongan-potongan informasi sumir diharapkan akan berangsur-angsur cerah kembali seturut adanya pencerahan bagi publik tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Apakah Corona sebenarnya cuma isu global atau masalah di tingkat lokal, konfirmasi pemerintah mengakhiri rumor dan gelombang hoaks yang menyertai berita keterpaparan seseorang terhadap virus ini. Konfirmasi juga sekaligus diharapkan menjadi kesepakatan publik untuk segera beranjak membincangkan langkah penanganan dan pencegahan potensi dampak merugikannya yang lebih luas.

Namun fenomena yang mencengangkannya adalah betapa respon publik telah sedemikian kronisnya. Masker yang sejatinya hanya disarankan bagi mereka yang mengalami gangguan penyakit pernafasan, baik karena Corona atau karena hal lain, justru diborong oleh mereka yang sehat dan bugar. Kebugaran bahkan sampai ke level kebugaran finansial untuk menebus harga masker yang meroket. Mereka yang memang sakit, dan biasanya terganggu kebugaran finansialnya, justru kesulitan mendapatkan masker karena stok di pedagang yang tiba-tiba menipis bahkan menghilang.

Tidak bisa sepenuhnya kita menyalahkan para pemburu keuntungan. Meningkatnya permintaan dalam kondisi suplai yang tetap menjadi peluang untuk meningkatkan margin rente. Namun hukum permintaan-penawaran mengatakan bahwa meningkatnya harga akan menurunkan permintaan dan kemudian akan menghasilkan keseimbangan kembali antara permintaan dan penawaran.

Hal penting yang mungkin tidak kita sadari bahwa untuk menuju keseimbangan tersebut membutuhkan waktu. Eskalasi berita tentang kejadian Corona menepikan kemungkinan seseorang mau menunggu keseimbangan tersebut, karena eskalasi pemberitaan berjalan bersamaan dengan eskalasi keparahan apabila seseorang positif terpapar. Pilihan rasional seseorang rasanya lebih baik mencegah daripada mengobati, apalagi menunggu keseimbangan pasar.

Panic buying yang terjadi dapat digunakan untuk sejenak kita, yang Alhamdulillah belum dan mudah-mudahan tidak terpapar, melihat dari perspektif lain kejadian ini. Perspektif tersebut adalah perspektif kebijakan kesehatan publik.

Kejadian terpaparnya seseorang terhadap suatu penyakit memang sifatnya individu dan seharusnya menjadi tanggung jawab individu yang bersangkutan. Namun kalau kejadiannya meluas sampai berkategori pandemi, maka urusan individu kemudian meningkat menjadi urusan publik. Eksternalitas negatif yang melingkupi dan menyertainya kemudian menjadi tugas negara untuk mengendalikannya. Keterkaitan dan sekaligus pemilahan antara urusan individu dengan tanggungjawab negara dalam kontek kebijakan publik adalah terbangunnya literasi kesehatan publik yang memadai.

Literasi kesehatan, menurut Zarcadoolas et.al dalam Advancing Health Literacy, Framework for Understanding and Action (2006), adalah kemampuan seseorang untuk menemukan, memahami dan bertindak atas dasar informasi kesehatan. Dampak dari rendahnya literasi kesehatan, di antaranya, adalah kesalahan penggunaan obat dan pengobatan, tidak atau kurang termanfaatkannya layanan kesehatan, pengendalian diri yang buruk dalam kondisi kronis, tidak memadainya respon terhadap situasi darurat, pemborosan finansial di tingkat individu dan masyarakat dan terjadinya ketidaksetaraan sosial.

Sudah cukup teredukasikah masyarakat kita dalam persoalan kesehatan? Dengan menggunakan kerangka dari Zarcadoolas di atas mari kita pandang fenomena yang ramai terberitakan.

Kemudahan yang diberikan oleh kemajuan teknologi informatika memungkinkan seseorang mendapatkan informasi tentang Corona atau Covid-19 beserta segala varian pendahulunya. Sulit menemukan warga yang tidak memiliki ponsel cerdas har ini dan mud sekali mendapatkan paket data untuk mengaktifkan koneksi internet dari ujung jemari tangan. Jangan lagi tanyakan gencarnye pemberitaan di media elektronik. Artinya dengan prakondisi tersebut maka tidak cukup kuat alasan untuk mengatakan ada orang yang tidak kenal dengan Covid-19 beserta segala dampak dan resikonya. Asumsinya dengan informasi tersebut maka seseorang dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi dan memutuskan tindakan yang tepat.

Faktanya yang menjadi viral justru respon yang tidak rasional. Sebagiannya merespon dalam kotak sempit pandangan politik. Sebagian lagi cemas dan gemas dalam bingkai potensi ekonomi dan ada yang menjadikannya bahan guyonan. Panic buying adalah satu simptom tidak sehatnya literasi kesehatan publik di negeri ini. Bukankah kampanye GERMAS, Cuci Tangan Pakai Sabun, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat sudah lama dikampanyekan oleh pemerintah? Bahkan gerakan 4 Sehat 5 Sempurna yang sejatinya menjadi pembentuk tameng diri yang kuat seseorang menghadapi gangguan penyakit sudah sejak jaman sebelum reformasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun