Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Isyarat dari Sarkofagus

18 Februari 2020   23:26 Diperbarui: 21 Februari 2020   08:13 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencoba mengetahui siapa moyang kita merupakan salah satu pertanyaan yang sering mencuat baik disadari atau tidak. Disadari ketika kita ingin mempertegas keberadaan kita hari ini dalam komunitas atau wacana publik. 

Bahwa kita merupakan bagian dari suatu kontinum panjang dan karenanya memiliki justifikasi untuk tetap dinilai kuat hari ini. Lihatlah bagaimana para kandidat kontestasi politik lokal berupaya menyambungkan diri dengan generasi berdarah biru, memposisikan diri sebagai pewaris kepahlawanan, mematut diri sebagai penerus kejayaan dan beragam frase lainnya yang sejenis. 

Tentu maksudnya adalah agar nalar publik menerima yang bersangkutan sebagai konsekuensi logis historis penerus kemajuan dari masa lalu dan karenanya logis juga secara politis untuk mengembalikan atau mempertahankannya hari ini.

Pertanyaan tentang moyang bisa juga mencuat tanpa sadar ketika mencoba menelusuri dan memaknai artefak dan ideafak yang kita temui pada hari ini. 

Naluri untuk mendapatkan jawaban tersebut bisa diletakkan pada keinginan untuk mendapatkan legitimasi atas niat akuisisi baik secara fisik maupun psikis. 

Bisa juga naluri tersebut didasarkan pada semangat atas harapan romantisme masa lalu. Hanya binatang dan tumbuhan saja yang tidak peduli dengan masa lalunya.

Ilmu arkeologi menyediakan kerangka dan metode untuk menjawab pertanyaan atau mendapatkan kisah masa lalu dari sebaran benda temuan dan tinggalan yang dapat diperoleh pada hari ini. 

Benda yang sekilas nampaknya mati ternyata dalam perspektif dan cara penalaran arkeologi sesungguhnya sedang bercerita meski dalam bahasa yang berbeda. Bentuk, gaya, bahan dan ukuran suatu benda terkadang adalah kosa kata atau kalimat dari rangkaian pengertian dan pesan.

Relief di dinding Borobudur bercerita tentang perjalanan kehidupan manusia, tatanan bagaimana relief ditempatkan menggambarkan tahapan menuju kesempurnaan hidup. 

Jadi bahasa tidak mesti dalam bentuk untaian kata-kata, karena kata-kata sebenarnya adalah simbolisasi dari penggalan makna. Dengan pemahaman demikian maka tinggalan yang masih tersisa sampai hari ini dapat dipandang sebagai media komunikasi antar generasi bahkan antar peradaban. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun