Rasanya tidak ada yang tidak pernah mendengar kata hoax akhir-akhir ini. Bahkan bisa jadi kita sendiri pernah jadi korban atau justru mengorbankan orang lain dengan ikut menyebarluaskan hoax tersebut. Term tersebut digunakan oleh beragam latar belakang penyebar dengan bermacam tujuan. Tujuan politik sesaat, pembunuhan karakter seseorang, merusak reputasi bisnis sampai sekadar untuk tujuan hiburan tanpa sadar banyak memanfaatkan hoax, sampai-sampai pemerintah merasa perlu untuk membendung saluran penyebarluasannya.
Efektifkah pendekatan kekuasaan untuk membendung hoax? Penetrasi internet dan terutama media sosial sepertinya selalu selangkah di depan respon kebijakan pemerintah, apalagi cara hoax diproduksi dan disebarkan juga berkembang. Sebagian kalangan memandang bahwa literasi lah yang perlu diperkuat untuk membendung ancaman hoax tersebut.
Untuk memudahkan, mari kita terjemahkan dahulu kata hoax ke dalam Bahasa Indonesia. KBBI (https://kbbi.kemdikbud.go.id) menerjemahkan "hoaks" sebagai informasi bohong. Dua kata yang digunakan oleh KBBI adalah "informasi" dan "bohong". Informasi dikelompokkan sebagai nomina atau kata yang tidak dapat dilekatkan dengan kata "tidak" di depannya karena merujuk ke fungsi sebagai obyek.
Dalam KBBI informasi diartikan sebagai penerangan, pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu. Sedangkan kata "bohong" dikelompokkan selain sebagai nomina juga sebagai adjektiva yaitu memberi sifat kepada sesuatu.
Dari watasan-watasan menurut KBBI di atas maka kita dapat meraba maksud rumusan definisi hoaks dalam Bahasa Indonesia sebagai "penyampaian kabar atau penjelasan tentang sesuatu tapi dengan maksud atau cara yang tidak sesuai dengan keadaan senyatanya". Kata-kata kunci dalam pengertian di atas adalah nomina (kata benda) namun perlu difahami bahwa proses mem-benda-kan tersebut tentunya adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh subyek perumusnya.
Kita dapat meminjam pengertian dalam Ilmu Komunikasi untuk aktifitas tersebut yaitu proses encoding atau meramu semua informasi, pengetahuan, dan faktor kognitif lainnya menjadi rumusan pesan yang akan ditransmisikan.
Pada tahap inilah dapat dirancang apakah pesan yang akan disampaikan nantinya akan menjadi informasi nyata atau menjadi informasi bohong? Tahap ini penting karena, kembali meminjam konsep Komunikasi, tahap berikutnya adalah penyampaian atau pengiriman pesan. Pada tahap ini rentan terjadi gangguan (noise) dalam prosesnya yang bisa mengubah muatan pesan yang dikirim dan ditangkap berbeda oleh penerima pesan.
Tahap selanjutnya adalah proses menguraikan (decoding) pesan yang diterima. Sebagaimana tahap encoding, pada tahap decoding faktor kognitif atau preferensi penerima pesan juga akan mempengaruhi ketepatan pesan dimaknai.
Tahapan-tahapan di atas penting diketahui kalau kita ingin meredam merebaknya penyebarluasan berita bohong dalam kehidupan kita. Petuah leluhur kami di Sulawesi Selatan mengatakan "dua hal penyebab perselisihan di antara manusia yaitu hal yang tidak diketahui dan hal yang tidak sepenuhnya difahami".
Bayangkan kerugian akibat perselisihan atau pertengkaran yang terjadi hanya karena tidak atau kurang difahaminya apa yang menjadi obyek perselisihan atau pertengkaran tadi. Dalam Komunikasi, pesan dan penyampaian pesan harus disesuaikan dengan target yang disasar. Ya itu tadi maksudnya, agar tidak banyak gangguan yang terjadi, pesan sampai dengan efektif dan tidak terjadi perselisihan.
Dengan masifnya media sosial masuk ke semua ruang kehidupan kita dewasa ini, informasi justru datang bagai hujan lebat mengguyur. Entah darimana sumbernya dan entah kepada siapa sebenarnya informasi tersebut ditujukan, nyatanya kita ikut terpapar. Saran kesehatan, nasehat agama, tawaran menjadi kaya dengan cepat, kutipan kata-kata bijak silih berganti mengkonsumsi kuota paket data yang kita miliki.
Jejak digital kita di dunia maya nyatanya dibuntuti diam-diam oleh konsultan pemasaran digital, lalu datanglah badai tawaran menarik. Sambil bergumam kita lalu sering tak sadar bertanya sendiri, kok platform ini faham apa yang saya cari?
Tawaran belanja bisa saja kita abaikan, rayuan produk terbaru misa kita hapus segera, tapi bagaimana dengan paparan informasi yang sensitif? Bagaimana menyikapi paparan informasi bohong menyangkut pilihan politik, sentimen kedaerahan atau etnis, pembunuhan karakter keluarga dekat atau rasa keagamaan kita?
Dengan kedewasaan (saya meyakini kita sudah dewasa, he he), secara pribadi kita mungkin bisa menekan emosi. Yang penting adalah bagaimana orang lain, yang belum sedewasa kita, mampu menyaring setiap informasi yang diterima agar perselisihan dan pertengkaran tidak berkembang.
Saring sebelum sharing itu ungkapan yang banyak kita dengar. Gampang disebut tapi tidak mudah dipraktikkan, karena ketika melibatkan emosi biasanya nalar akan terpinggirkan. Respon kita akan lebih cepat apabila yang disinggung menyangkut pribadi atau kepentingan kita langsung. Proses menalar yang panjang seringkali terabaikan karena ingin cepat merespon.
Reaksi cepat dulu, akibat nanti difikir! Kecepatan akses lewat media sosial mempermudah kita untuk mempercepat reaksi tersebut. Share (bagi) dan forward (teruskan) sangat mudah dilakukan, hanya dengan memainkan jemari dan menekan tombol di gawai kita.
Ketika internet belum hadir di ruang publik, penyampaian informasi didominasi oleh mereka yang memiliki reputasi dan legitimasi. Ilmuwan, cerdik pandai, pemimpin, tokoh masyarakat adalah sumber informasi. Kebenaran apa yang disampaikan dapat kita pertanyakan, tapi sumber informasinya dapat diketahui dengan jelas dan karenanya dapat dinilai dengan standar yang kita pakai.
Dalam Islam, penelusuran riwayat sebuah hadits adalah salah satu contoh metode untuk menapis mana hadits shahih, yang mana hadits lemah atau menentukan hadits palsu. Metode ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kompetensi mumpuni karena memerlukan penguasaan ilmu yang luas, mulai dari ilmu bahasa, logika sampai sejarah.
Dengan menggunakan contoh dari periwayatan hadits, maka sebenarnya yang perlu diperkuat untuk menangkal berita bohong adalah penguatan literasi masyarakat. Perkuatlah literasi generasi muda kita hari ini. Tidak cukup regulasi diperbanyak kalau literasi tidak mumpuni.
Pelajaran Sejarah di sekolah-sekolah adalah saluran untuk memperkuat literasi tersebut. Tugas Guru Sejarah dan sejarawan untuk meninjau ulang praktik cara sejarah diajarkan di sekolah selama ini. Stigma Sejarah sebagai pelajaran menghafal harus diubah. Berhentilah para guru memaksa murid untuk menghafalkan nama tokoh, tanggal lahir, tahun berkuasa dan saat keruntuhan sebuah kerajaan.
Mas Menteri Nadiem sudah mengatakan bahwa negara ini tidak butuh generasi penghafal. Saya menduga maksud beliau adalah generasi yang hanya bisa menghafal tanpa faham konteknya, karena kemampuan menghafal justru menunjukkan kemampuan mengorganisir pengetahuan.
Kenapa Pelajaran Sejarah? Saya di sini memisahkan antara Sejarah dan Pelajaran Sejarah, karena Sejarah adalah informasi dari masa lalu sedangkan Pelajaran Sejarah adalah tentang kemampuan menyusun dan menerjemahkan informasi masa lalu tersebut. Pelajaran Sejarah yang dikuasai dengan baik oleh generasi muda akan memampukan mereka untuk melakukan penalaran yang utuh dengan mempelajari tahapan-tahapan dalam metodelogi sejarah.
Tahapan pertama yaitu heuristik (mengenal dan menggali dari sumber informasi). Penguasaan tahapan ini akan melatih generasi muda memilah potensi sumber informasi yang bisa digali dan mencegah pemborosan energi. Hasil dari tahap ini kemudian dilanjutkan dengan tahapan kedua yaitu kritik sumber.
Tahapan ini melatih generasi muda untuk melakukan validasi dan verifikasi sumber informasi. Seseorang yang tidak terlibat dalam suatu peristiwa tidak bisa diandalkan menceritakan dengan detail suatu kejadian berdasarkan pandangan matanya sendiri. Bisa jadi dia hanya mendengar dan melakukan sharing dan forward berdasarkan cerita dari orang lain.
Dengan kemampuan melakukan kedua tahapan tersebut maka seseorang bisa meningkat ke tahapan ketiga yaitu melakukan penerjemahan peristiwa atau informasi. Kemampuan memahami kontek, baik lingkungan maupun waktu, penting untuk menerjemahkan suatu peristiwa. Kalau menggunakan kerangka logika, maka ketiga tahap tersebut di atas sudah memadai bagi seseorang untuk menyusun penalaran dan mendapatkan suatu konlusi.
Pengetahuan dan pemahaman kontek bisa digunakan sebagai premis mayor, sedangkan temuan informasi dari tahapan heuristik diletakkan sebagai premis minor. Kemampuan menyusun premis mayor dan premis minor yang teapot akan menghasilkan konklusi atau simpulan yang logis
Tahapan keempat atau terakhir dari metodelogi sejarah adalah historiografi atau penyajian hasil. Bagaimana sebuah historiografi dapat berkualitas sangat dipengaruhi oleh penguasaan ketiga tahapan sebelumnya lalu ditambah kemampuan atau bakat menulis seseorang.
Kalau kembali ke fenomena berita bohong (hoaks) di awal tulisan, maka terlihat bahwa penguasaan logika yang dilatih melalui metodelogi sejarah sebenarnya bisa menjadi penangkal yang ampuh. Faktanya kita lebih sering terpukau dengan narasi atau aspek historiografi lalu mengabaikan ketiga tahapan yang mendasarinya dalam berespon sebuah berita atau informasi. Dengan kata lain kita lebih sering mengabaikan kerangka penalaran atau logika sebuah informasi. Pengabaian itulah yang menjadi lahan subur tersebar-luasnya berita bohong.
Pendidikan pada dasarnya membekali peserta didik dengan penguasaan metode agar di masa depan mereka bisa melakukan penalaran logis sendiri terhadap setiap fenomena atau permasalahan yang dihadapi. Masalah atau tantangan generasi hari ini bisa jadi berbeda dengan generasi mendatang, apalagi dengan generasi terdahulu.
Maka yang penting diwariskan melalui pembelajaran adalah kemampuan menggali fakta, membaca informasi dan menyusun narasi. Pengajaran Sejarah bisa berperan dalam tugas ini, bukan menjejali kepala generasi muda dengan tumpukan data atau informasi yang tidak bisa mereka kelola.
Perkuat mereka dengan nilai luhur agama dari dalam keluarga, maka generasi muda akan mampu menjawab tantangan masa depan tanpa tercabut dari akar budayanya. Kecerdasan ditambah bekal spiritual adalah benteng penangkal ampuh terhadap berita bohong.
Salam literasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI