Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Menghafal" Mitos Penjajahan 350 Tahun dan Tantangan Pendidikan Era Milenial

30 Desember 2019   20:35 Diperbarui: 5 Januari 2020   00:16 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pragmatisme semacam itu juga menjangkiti sebagian pendidik, selama murid dapat memenuhi target dalam RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) berarti proses pendidikan (sejarah) sudah berhasil.

Hasilnya?

Meski saya tidak punya data survey, saya yakin sebagian besar murid sekolah menilai pelajaran sejarah sekadar balapan menghafal nama dan tahun. Dengan menggunakan kalimat dari Mas Mendikbud, maka praktik pengajaran sejarah selama ini adalah praktik yang sia-sia alias tidak dibutuhkan lagi di masa depan.

Tantangan bagi sejarawan dan guru sejarah bertambah. Kalau yang ditekankan dalam pengajaran sejarah di sekolah adalah ketrampilan menghafal, maka sejarah sebagai pengetahuan memang tidak dibutuhkan lagi karena fungsi itu dapat diambil alih oleh Sistem Informasi (IT). Dan juga sebenarnya apa manfaat yang diperoleh dari mengetahui rentetan kejadian di masa lalu?

Pendukung sejarah akan mengatakan bahwa sejarah itu penting karena bangsa yang memiliki sejarahlah yang dapat memiliki modal kebanggaan, bukti bahwa suatu komunitas memiliki identitas yang kuat dan terekam panjang dalam lini masa peradaban. 

Dalam perdebatan di sidang-sidang BPUPKI, bahkan M Yamin menarik garis yang menghubungkan Indonesia (yang baru akan merdeka!) sebagai pewaris dari Syailendra dan Majapahit, sambil membayangkan bahwa Indonesia nantinya akan meneruskan kejayaan kerajaan tradisional tadi. Jelas bahwa M Yamin ingin mendapatkan legitimasi historis konsep negara baru yang sedang dirancang tersebut.

Dari mana kita mendapatkan gambaran seperti apa perdebatan para founding fathers kita dulunya? Di sini kita kembali ke isu awal, seberapa kuat anak didik kita di sekolah menghafal secara detail proses perdebatan sidang BPUPKI tadi? Menghadapi tantangan masa depan, menjadi dapat difahami maksud Mendikbud tentang tidak dibutuhkannya lagi ketrampilan menghafal. 

Boleh jadi di masa depan, generasi penerus kita sudah bertransformasi menjadi warga dunia yang tidak terlalu sensitif lagi dengan isu primordial lokalitas sempit. Bukankah informasi dan sistem keuangan sekarang sudah tidak mengenal batas negara lagi? Lalu apa yang kita wariskan sebagai bentuk tanggung jawab generasiona?

Saya berpendapat bahwa tugas utama pendidikan, termasuk Sejarah, sebenarnya hanya ada 3 (tiga) yaitu mengajarkan agar anak didik kita mampu (1) berfikir dan bernalar secara rasional, (2) menggali data dan fakta yang relevan, dan (3) mengutarakan pendapat, gagasan dan bahkan melakukan debat yang setara siapapun mitra dialognya.

Kalau ketiganya diringkas, maka tugas pendidik adalah mengajarkan cara belajar karena apa yang perlu dipelajari dalam 10 atau 20 tahun ke depan bisa jadi berbeda dengan hari ini. 

Perdebatan tentang berapa lama sebenarnya Belanda menjajah Indonesia bisa jadi akan memperoleh jawaban yang berbeda sama sekali dengan apa yang kita hafalkan hari ini. Interpretasi dan historiografi generasi penerus bisa jadi di luar apa yang kita bayangkan sekarang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun