Mendikbud Nadiem Makariem pernah menyatakan bahwa Indonesia ke depan tidak butuh orang yang pintar menghafal, (Tempo). Mungkin kita sepakat bahwa salah satu pelajaran di sekolah dulu yang sangat lekat dengan cap menghafal adalah pelajaran Sejarah. Jadi pelajaran Sejarah tidak diperlukan lagi? Anak-anak kita tidak harus lagi dikenalkan dengan sejarah bangsanya?
Dalam interval waktu yang tidak terlalu berjauhan, sebuah tulisan di media daring dari Joss Wibisono (Historia) mengangkat tema yang menurut saya sangat menggelitik yaitu bahwa penjajahan Belanda di Indonesia sesungguhnya tidaklah 350 tahun alias semua itu sebagian besarnya mitos! Joss Wibisono mengungkit tema itu dengan mempertanyakan lini masa yang dipakai untuk menghitung, apakah sejak VOC berdiri tahun 1602, apakah ketika de Houtman menjejakkan kakinya tahun 1596? Kalau masih kurang memadai coba telaah buku GJ Resink yang judulnya cukup menghentak, Bukan 350 Tahun Dijajah.
Kalau Indonesia merdeka tahun 1945, maka durasi 350 tahun ternyata dihitung dari sejak Cornelis de Houtman menjejakkan kaki di Banten tahun 1596. Dari hitungan ini sepertinya pertanyaan sudah terjawab, quod erat demonstrandum (apa yang diminta sudah ditunjukkan).
Tapi tunggu dulu!
Mari sejenak kita coba telisik lebih dalam. Ketika de Houtman bersaudara mendarat di Banten, dalam kapasitas apakah mereka saat itu, apakah sebagai pelaut, bajak laut, pedagang atau utusan Kerajaan Belanda? VOC yang sangat kita kenal dalam pelajaran sejarah berdiri tahun 1602 sebagai perusahaan dagang, itupun awalnya lebih menekankan kegiatan dagangnya dengan Mughal India.
Ada rentang 6 tahun sejak de Houtman mendarat di Banten dan VOC berdiri. Tidakkah lebih masuk akal kalau kedatangan de Hotman sebenarnya masih dalam rangka penjajakan? Pertanyaan semacam ini masih dapat kita perdalam lagi apakah sejak berdirinya VOC tahun 1602 mereka langsung menguasai Indonesia? VOC sebagai negara dalam wajah perusahaan multinasional baru digantikan langsung oleh Kerajaan Belanda menguasai Indonesia ketika VOC dinyatakan bangkrut karena korupsi di penghujung abad XIX.
Itu tentang lini masa, bagaimana dengan terminologi Indonesia sendiri? Bukankah secara formal nama Indonesia sebagai negara baru kita kenal tahun 1945? Pemerintah Belanda bahkan mengakui Republik Indonesia baru pada tahun 1949 melalui istilah penyerahan kedaulatan. Maka yang dikuasai atau dijajah oleh VOC sebenarnya Indonesia yang mana? Aceh baru takluk tahun 1904, Bali tahun 1906 atau sudah masuk ke abad 20, dengan kata lain mereka tidak sampai 50 tahun dijajah.
Kita serahkan saja pembuktian fakta dan penafsiran yang sesungguhnya kepada para ahli dan peminat sejarah, yang saya yakini tidak sekadar piawai menghafal nama-nama tokoh dalam peristiwa silam.
Saya lebih tertarik melihat sisi lain dari tema penjajahan ini sebagai bekal agar kita tidak menelan mentah-mentah semua informasi. Sekaligus juga mencoba mendedah ritual menghafal di institusi pendidikan kita selama ini. Silang pendapat peristiwa G-30/S salah satu contoh bagaimana sesuatu (yang dianggap) fakta dapat dibaca dan diterjemahkan dari beragam sisi. Sisi penguasa akan selalu menekankan term "pengkhianatan", sebaliknya sisi seberang akan selalu mengutarakan term "korban", meski kedua sisi sepakat menggunakan term "konspirasi" namun untuk tujuan yang berbeda.
Di sisi mana sebaiknya kita berdiri?
Memilih sisi atau posisi berdiri dalam memandang dan menilai sesuatu tanpa bekal metodologi yang memadai akan membawa kita pada fanatisme buta, menggiring pada suasana batin ekstrim tak berdasar dan akhirnya bermuara pada ekspresi tak terkendali.
Fakta sejarah memiliki keunikan sebagai obyek perbincangan dan lapangan kajian. Kontek waktu yang sudah berlalu, situasi lingkungan yang sudah berubah menjadikan fakta sejarah tidak bisa diperlakukan secara empiris mutlak sebagaimana ilmu alam dapat melakukan replikasi peristiwa atau fenomena alam dalam skala laboratorium.Â
Ahli sejarah umumnya mengelompokkan 4 tahap penting dalam penelitian sejarah yaitu (1) penggalian dan pengumpulan bukti (heuristik), (2) verifikasi bukti atau sering disebut kritik sumber, (3) interpretasi dan (4) historiografi atau merangkai peristiwa masa lalu berdasarkan sumber dan informasi yang sudah melalui proses pengujian.
Kembali ke judul tulisan, cukup beralasan untuk mengatakan bahwa kita menghadapi masalah pada tahap interpretasi dan historiografi sejarah nasional kita.Â
Masalah yang saya maksud di sini dapat diterjemahkan sebagai cara pandang yang berbeda. Konsekuensi dari cara pandang berbeda tentunya pilihan sikap yang bisa jadi berbeda juga.Â
Sambungkan perbedaan cara mendelineasikan pengertian INDONESIA dalam kontek sejarah penjajahan ini dengan isu yang hari-hari ini dijejalkan kepada kita melalui ruang publik semisal toleransi, NKRI, radikalisme dan sejenisnya. Seberapa kuat sebenarnya slogan NKRI Harga Mati bergema dalam dada? Tidakkah gemanya hanya terasa di etalase baliho, spanduk dan iklan layanan masyarakat dan menguat sekuat biaya iklan yang digelontorkan?
Sejarah sebagai penghubung antar generasi dalam bentuk pewarisan memori kolektif diyakini dapat mempererat identitas kebangsaan. Institusi pendidikan kemudian mengambil peran aktif dalam proses ini.Â
Penguatan karakter kebangsaan, penumbuhan rasa cinta tanah air dan membangun karakter bangsa menjadi jargon yang nampaknya kemudian menjelma menjadi "mantra" dalam pengajaran sejarah. Saya menyebutnya sebagai mantra karena lazimnya mantra tidak terlalu penting untuk difahami arti kata demi katanya. Struktur kalimat dalam mantra pun tidak penting dibahas.Â
Urgensi akademis semacam ini akan selalu kalah dengan dorongan pragmatis untuk mendapatkan panacea (obat mujarab) dari masalah yang sedang kita hadapi.
Bahwa Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun adalah salah satu contoh mantra yang wajib dihafal oleh murid-murid sekolah. Tapi coba tanyakan ke anak sekolah hari ini, Belanda yang mana dimaksud dalam pernyataan itu? Siapa yang pertama mengusulkan dan memberi nama Indonesia kepada negara kita?Â
Tidak banyak murid yang merasa penting mengetahui lebih jauh hal tersebut, karena lebih penting mendapat nilai dan lulus dari pelajaran Sejarah.Â
Pragmatisme semacam itu juga menjangkiti sebagian pendidik, selama murid dapat memenuhi target dalam RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) berarti proses pendidikan (sejarah) sudah berhasil.
Hasilnya?
Meski saya tidak punya data survey, saya yakin sebagian besar murid sekolah menilai pelajaran sejarah sekadar balapan menghafal nama dan tahun. Dengan menggunakan kalimat dari Mas Mendikbud, maka praktik pengajaran sejarah selama ini adalah praktik yang sia-sia alias tidak dibutuhkan lagi di masa depan.
Tantangan bagi sejarawan dan guru sejarah bertambah. Kalau yang ditekankan dalam pengajaran sejarah di sekolah adalah ketrampilan menghafal, maka sejarah sebagai pengetahuan memang tidak dibutuhkan lagi karena fungsi itu dapat diambil alih oleh Sistem Informasi (IT). Dan juga sebenarnya apa manfaat yang diperoleh dari mengetahui rentetan kejadian di masa lalu?
Pendukung sejarah akan mengatakan bahwa sejarah itu penting karena bangsa yang memiliki sejarahlah yang dapat memiliki modal kebanggaan, bukti bahwa suatu komunitas memiliki identitas yang kuat dan terekam panjang dalam lini masa peradaban.Â
Dalam perdebatan di sidang-sidang BPUPKI, bahkan M Yamin menarik garis yang menghubungkan Indonesia (yang baru akan merdeka!) sebagai pewaris dari Syailendra dan Majapahit, sambil membayangkan bahwa Indonesia nantinya akan meneruskan kejayaan kerajaan tradisional tadi. Jelas bahwa M Yamin ingin mendapatkan legitimasi historis konsep negara baru yang sedang dirancang tersebut.
Dari mana kita mendapatkan gambaran seperti apa perdebatan para founding fathers kita dulunya? Di sini kita kembali ke isu awal, seberapa kuat anak didik kita di sekolah menghafal secara detail proses perdebatan sidang BPUPKI tadi? Menghadapi tantangan masa depan, menjadi dapat difahami maksud Mendikbud tentang tidak dibutuhkannya lagi ketrampilan menghafal.Â
Boleh jadi di masa depan, generasi penerus kita sudah bertransformasi menjadi warga dunia yang tidak terlalu sensitif lagi dengan isu primordial lokalitas sempit. Bukankah informasi dan sistem keuangan sekarang sudah tidak mengenal batas negara lagi? Lalu apa yang kita wariskan sebagai bentuk tanggung jawab generasiona?
Saya berpendapat bahwa tugas utama pendidikan, termasuk Sejarah, sebenarnya hanya ada 3 (tiga) yaitu mengajarkan agar anak didik kita mampu (1) berfikir dan bernalar secara rasional, (2) menggali data dan fakta yang relevan, dan (3) mengutarakan pendapat, gagasan dan bahkan melakukan debat yang setara siapapun mitra dialognya.
Kalau ketiganya diringkas, maka tugas pendidik adalah mengajarkan cara belajar karena apa yang perlu dipelajari dalam 10 atau 20 tahun ke depan bisa jadi berbeda dengan hari ini.Â
Perdebatan tentang berapa lama sebenarnya Belanda menjajah Indonesia bisa jadi akan memperoleh jawaban yang berbeda sama sekali dengan apa yang kita hafalkan hari ini. Interpretasi dan historiografi generasi penerus bisa jadi di luar apa yang kita bayangkan sekarang.Â
Di situlah perlunya kita memberi bekal ilmu yang benar, kokoh dan dapat dimanfaatkan secara merdeka dan mandiri termasuk tentang bagaimana mendedah tema kesejarahan.
Belajar sejarah yang terlalu sarat dengan muatan indoktrinasi, sesak dengan pesan ideologi hanya akan menjadikan materi ajarannya sekadar hafalan tanpa memberi kemampuan menalar yang kokoh. Buktinya, jejakan kaki de Houtman yang pertama di Banten dianggap sebagai tonggak dimulainya periode penjajahan Belanda dan itu dihafalkan dari generasi ke generasi selama ini.
Hanya pendidikan lah yang memiliki peluang memberi pencerahan sekaligus suluh ke masa depan.
Aminuddin Malewa
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI