Memilih sisi atau posisi berdiri dalam memandang dan menilai sesuatu tanpa bekal metodologi yang memadai akan membawa kita pada fanatisme buta, menggiring pada suasana batin ekstrim tak berdasar dan akhirnya bermuara pada ekspresi tak terkendali.
Fakta sejarah memiliki keunikan sebagai obyek perbincangan dan lapangan kajian. Kontek waktu yang sudah berlalu, situasi lingkungan yang sudah berubah menjadikan fakta sejarah tidak bisa diperlakukan secara empiris mutlak sebagaimana ilmu alam dapat melakukan replikasi peristiwa atau fenomena alam dalam skala laboratorium.Â
Ahli sejarah umumnya mengelompokkan 4 tahap penting dalam penelitian sejarah yaitu (1) penggalian dan pengumpulan bukti (heuristik), (2) verifikasi bukti atau sering disebut kritik sumber, (3) interpretasi dan (4) historiografi atau merangkai peristiwa masa lalu berdasarkan sumber dan informasi yang sudah melalui proses pengujian.
Kembali ke judul tulisan, cukup beralasan untuk mengatakan bahwa kita menghadapi masalah pada tahap interpretasi dan historiografi sejarah nasional kita.Â
Masalah yang saya maksud di sini dapat diterjemahkan sebagai cara pandang yang berbeda. Konsekuensi dari cara pandang berbeda tentunya pilihan sikap yang bisa jadi berbeda juga.Â
Sambungkan perbedaan cara mendelineasikan pengertian INDONESIA dalam kontek sejarah penjajahan ini dengan isu yang hari-hari ini dijejalkan kepada kita melalui ruang publik semisal toleransi, NKRI, radikalisme dan sejenisnya. Seberapa kuat sebenarnya slogan NKRI Harga Mati bergema dalam dada? Tidakkah gemanya hanya terasa di etalase baliho, spanduk dan iklan layanan masyarakat dan menguat sekuat biaya iklan yang digelontorkan?
Sejarah sebagai penghubung antar generasi dalam bentuk pewarisan memori kolektif diyakini dapat mempererat identitas kebangsaan. Institusi pendidikan kemudian mengambil peran aktif dalam proses ini.Â
Penguatan karakter kebangsaan, penumbuhan rasa cinta tanah air dan membangun karakter bangsa menjadi jargon yang nampaknya kemudian menjelma menjadi "mantra" dalam pengajaran sejarah. Saya menyebutnya sebagai mantra karena lazimnya mantra tidak terlalu penting untuk difahami arti kata demi katanya. Struktur kalimat dalam mantra pun tidak penting dibahas.Â
Urgensi akademis semacam ini akan selalu kalah dengan dorongan pragmatis untuk mendapatkan panacea (obat mujarab) dari masalah yang sedang kita hadapi.
Bahwa Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun adalah salah satu contoh mantra yang wajib dihafal oleh murid-murid sekolah. Tapi coba tanyakan ke anak sekolah hari ini, Belanda yang mana dimaksud dalam pernyataan itu? Siapa yang pertama mengusulkan dan memberi nama Indonesia kepada negara kita?Â
Tidak banyak murid yang merasa penting mengetahui lebih jauh hal tersebut, karena lebih penting mendapat nilai dan lulus dari pelajaran Sejarah.Â