Mohon tunggu...
Amalia Adhandayani
Amalia Adhandayani Mohon Tunggu... Freelancer - Akademisi.

Mempelajari psikologi dan kepribadian manusia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beda Budaya, Beda Pula Penyebab Belanja Impulsif

11 Desember 2018   23:36 Diperbarui: 20 Mei 2022   23:13 1855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Infografis oleh penulis @amemalia

Bulan Desember selalu dinantikan banyak orang karena banyaknya diskon natal dan tahun baru untuk berbagai barang, mulai dari kosmetik sampai fashion terbaru. Baik setting online maupun offline, berbelanja merupakan hal yang melegakan dan mampu membantu beberapa orang untuk melupakan problematika hidup sesaat. Seringkali mereka berbelanja menuruti hasrat semata, meskipun akhirnya barang yang dibeli jadi tidak berguna. 

Apa itu Belanja Impulsif? 

Menurut Rook (1987) pembelian impulsif mengacu pada pembelian sesuatu yang tiba-tiba dan tidak direncanakan sebelumnya. Perilaku pembelian impulsif juga terkait dengan adanya stimulus yang tiba-tiba dan seringkali disertai dengan perasaan senang, gembira dan atau memiliki dorongan yang kuat untuk membeli. 

Ramainya diskon di berbagai pusat perbelanjaan merupakan salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk membeli barang tanpa memikirkan konsekuensi dan kegunaannya.

Belanja Impulsif di Indonesia

Bukan hanya di akhir tahun, perilaku belanja impulsif ini juga muncul dalam kehidupan sehari-hari. Ada berbagai faktor yang terbukti mempengaruhi pembelian impulsif di Indonesia, seperti emosi positif, kualitas pelayanan dan promosi, serta konformitas. Nyatanya, belanja memang mampu membuat kita lebih bahagia dan tak jarang keinginan untuk berbelanja juga dipengaruhi oleh tren yang beredar di lingkungan kita.

Dalam survei yang dilakukan theAsianparent akhir tahun 2017, ditemukan bahwa setidaknya 73% dari 1093 perempuan Indonesia yang sudah memiliki anak mengaku berbelanja daring lebih dari 2-3 kali setiap bulannya, dengan pengeluaran sebesar Rp 100.000 hingga Rp 300.000 per transaksi.

Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diambil dari kuartal keempat (Q4) tahun 2015 pun menunjukkan adanya penurunan dari marginal propensity to save (MPS) menuju ke peningkatan marginal propensity to consume (MPC), yang sebenarnya bukan hal baru, karena rasio MPS berada di bawah rasio MPC sejak 2013. 

Ini dapat menjadi indikasi bahwa lebih banyak orang Indonesia yang memilih untuk mengalokasikan pendapatan mereka untuk berbelanja daripada menabung.

Hal ini didukung oleh ilustrasi Survei Indeks Sentimen Investor Manulife pada Q4 tahun 2015 di Indonesia yang menemukan bahwa 53 persen responden menghabiskan 70 persen dari pendapatan mereka untuk berbelanja dan 10 persen menghabiskan 90 persen dari penghasilan mereka untuk berbelanja. Dapat diartikan, orang Indonesia kurang bijak dalam mengelola keuangan mereka karena seringkali dihabiskan untuk berbelanja.

Budaya Kolektivis dan Individualis terhadap Belanja Impulsif   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun