Mohon tunggu...
Amellia
Amellia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang mencoba untuk membuat tulisan. Semoga bermanfaat..

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Wanita Tidak Boleh untuk Menjadi Pemimpin?

26 Mei 2024   08:40 Diperbarui: 26 Mei 2024   08:47 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Apakah Wanita Tidak Boleh Untuk Menjadi Pemimpin?

Studi al-Qur’an dari masa ke masa menunjukkan perkembangan dari berbagai perspektif kajian dan pendekatan. Sebagian mufassir ada yang mengikuti pemahaman teks sebagaimana yang dirumuskan semula, sementara sebagian lainnya berusaha menyesuaikannya dengan konteks perkembangan masa kini. Pandangan mufassir terhadap tafsir al-qur’an menjadi sumber penafsiran yang terpenting, yang mencakup tiga aspek utama, yaitu: teks al-qur’an, realitas atau konteks penafsiran ayat tersebut, dan sudut pandang tentang rasionalitas/ijtihad sesuai konteks saat ini (Erviena, 2021).

Terkait kepemimpinan perempuan, selalu ada pro dan kontra dalam perdebatan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pendekatan dalam memahami dan menafsirkan teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta penilaian terhadap keberadaan ijma’ ulama sebagai sumber istinbat dan dalil hukum atau metode hukum. implikasinya menimbulkan kesimpulan hukum yang berbeda. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa isu perempuan menjadi pemimpin telah masuk dalam proses dinamis ijtihadiyah sepanjang zaman. Maka, menjadi hal yang lumrah bagi para ulama untuk berbeda pendapat mengenai kepemimpinan perempuan (Lutfiyah & Diyanah, 2022).

Penafsiran terhadap teks-teks (Al-Qur'an dan Hadits) yang mengandung ketidakadilan gender atau setidaknya bias gender menghasilkan fiqh yang sangat diskriminatif dan tetap melestarikan budaya patriarki, yaitu rumusan fiqh yang penuh dengan dominasi dan aturan laki-laki yang bersifat patriarki dan tidak memberikan unsur keadilan dan hak-hak perempuan dalam kesetaraan, khususnya dalam kedudukan perempuan dalam rumah tangga.

Oleh karena itu diperlukan upaya untuk membangun kembali yurisprudensi perempuan dalam semangat kesetaraan, yang merupakan pesan Alquran. Benar bahwa Al-Qur'an berbicara tentang keunggulan sosial dan superioritas laki-laki dibandingkan perempuan. Namun, hal itu harus dilihat dalam konteks sosial yang tepat. Sudut pandang yang murni teologis tidak bisa diambil, namun bisa diambil sudut pandang sosio-teologis. Hal ini sesuai dengan Al-Qur'an yang memuat ajaran kontekstual dan normatif.

Al-Qur'an diturunkan agar segala perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat dihilangkan, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Pada saat yang sama, hak-hak perempuan, termasuk hak di luar rumah, hak atas pendidikan, hak politik, dan lain-lain, adalah setara dan setara dengan hak laki-laki. Al-Qur'an tidak membeda-bedakan perempuan dan menangani semua itu dalam konteks keadilan dan kesetaraan, sehingga penting untuk menduduki jabatan yang meninggikan harkat dan martabat perempuan. Melalui dua sumbernya, Al-Qur'an dan Sunnah, Islam mendefinisikan kedudukan dan status perempuan sama dan setara dengan kedudukan dan status laki-laki. Islam sangat menunjukkan kesetaraan gender dan tidak menginginkan ketidakadilan atau kesenjangan gender (Pambayun & Wahab, 2021). Kesetaraan gender berarti kondisi yang setara antara laki-laki dan perempuan, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan dan hak yang sama untuk bertindak dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seperti ekonomi, politik, sosial budaya, hukum, pendidikan, dan lain-lain (Choiri & Fathony, 2021).


Berbicara tentang pemimpin, seorang pemimpin harus bersikap adil, berpikiran terbuka dan siap menerima kritik dan saran. Walaupun ada kelompok yang mengatakan bahwa pemimpin haruslah laki-laki, namun tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Tidak ada satupun ayat dalam Islam yang menjelaskan haramnya seorang perempuan menjadi pemimpin, setiap orang mempunyai kedudukan dan bentuk kepemimpinan yang biasa antara laki-laki dan perempuan. Kita harus ingat bahwa wanita adalah karakter yang spesial bukan? Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW untuk menaikkan derajat perempuan hingga tiga kali lipat kedudukan laki-laki, sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara pemimpin laki-laki dan perempuan (Zaini et al., 2023).

Pemimpin menurut Hamka adalah posisi atau jabatan yang tidak dapat disandang oleh perempuan. Hal ini bukan merupakan diskriminasi hak, namun didasarkan pada realita dan fungsional perempuan itu sendiri, dan mereka memiliki sifat-sifat feminitas yang lebih menunjang untuk menopang kepemipinan dibandingkan sebagai pemimpin itu sendiri. Hamka menggunakan dua ayat untuk mengkaji kepemimpinan perempuan, yaitu surat an-nisa ayat 34 dan surat an-naml ayat 22-44

Menurut Hamka, Surat Al-Nisa ayat 34 mengandung realitas. Laki-laki memimpin perempuan adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Ketidakadilan tidak didasarkan pada superioritas laki-laki. Namun karena laki-laki lebih siap secara fisik dan psikis untuk menjadi pemimpin dibandingkan perempuan. Adapun dalam surat al-Naml ayat 22-44, gambaran tentang kepemimpinan diambil dari kisah Balqis binti Syarahil, Ratu Syeba. Menurut Hamka, ayat tersebut menunjukkan bahwa pemimpin perempuan ini adalah pemimpin yang mempunyai sifat-sifat terpuji (Syawqibik, 2020).

Pendapat serupa juga diungkapkan Imam al-Qurthubi bahwa, firman Allah Swt.: “ ar-rijaalu qowwaamuuna ‘alan-nisaaa-i “ yang artinya “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”. Kalimat ini adalah bentuk mubtada’ dan khabar, maksudnya adalah laki-laki memberikan nafkah dan membela wanita, laki-laki itu ada yang menjadi hakim, pemimpin, dan orang yang suka berperang sedangkan wanita tidak ada, sering disebut juga Qawwam dan Qayyim. “Bimaa fadhdholallohu ba’dhohum ‘alaa ba’dhin” yang artinya “Oleh karena Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)”, yakni kelebihan yang Allah berikan kepada laki-laki atas istrinya itu disebabkan pemberian mahar, pemberian nafkah dan hartanya, dan merekalah yang mencukupi kebutuhan istri-istri mereka. Itu merupakan keutamaan yang Allah berikan kepada kaum laki-laki atas istri-istri mereka. Oleh karena itu, mereka menjadi pemimpin atas istri-istri mereka, sekaligus orang yang melaksanakan yang Allah wajibkan kepada mereka dalam urusan istri-istri mereka.

Dalam kitab tafsir klasik yang menjelaskan tuntunan dalam QS. An-Nisa [4]:34 memang menunjukkan bahwa laki-laki digambarkan lebih unggul dari perempuan. Para penafsir klasik menawarkan penafsiran yang demikian, yang pada prinsipnya tidak lepas dari situasi sosial budaya pada masa penafsiran tersebut. Pada saat itu, jumlah perempuan dalam urusan kepemimpinan masih sangat sedikit, dan terlihat jelas bahwa laki-lakilah yang menjadi pemimpin dalam urusan kepemimpinan (Setiawan et al., 2022).

Selain itu, sebagai ulama besar, al-Zamakhsyari berpendapat bahwa kepemimpinan perempuan pada umumnya bersifat normatif, yakni memberikan peluang bagi perempuan untuk menjadi pemimpin, sehingga menghilangkan peluang timbulnya perselisihan. Namun Az-Zamakhsyarîy cenderung menempatkan perempuan di bawah laki-laki. bahkan az-Zamakhsyarîy menilai laki-laki mempunyai banyak kelebihan dibandingkan perempuan, meskipun az-Zamakhsyarîy tidak menguraikan pernyataan itu (Ibrahim, 2018).

Sementara itu, menurut para ahli tafsir masa kini seperti Quraish Shihab, Zaitunah Subhan mengutarakan prinsip normatif terkait teks Al-Qur'an. Dengan demikian, mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kontekstual, artinya mereka menafsirkan ayat-ayat tersebut menurut konteks sosial tertentu. Ketika konteks sosial berubah, doktrin pun ikut berubah.

Quraish shihab mengatakan bahwa diantara laki-laki dan perempuan memiliki keistimewaan masing-masing. Laki-laki di anugerahkan memimpin sedangkan perempuan memberikan rasa kedamaian serta ketenangan dan mendukung penuh dalam mendidik anaknya , maka boleh saja jika perempuan menjadi pemimpin, adanya perbedaan konteks sosial budaya diantara dua tokoh mufassir tersebut yaitu, Quraish shihab memiliki landasan kepada gurunya yaitu al-Biqai (ibrahim bin umar bin hasan ar-Ribat bin Ali bin Abi Bakar asy-Syafi’i) yang mempunyai pemikiran tentang konsep kepemimpinan dibangun atas dua perkara yaitu kasbi dan wahabi. Wahabi adalah suatu pemberian Tuhan kepada hambanya tanpa dipinta sebelumnya bisa berupa kekuatan fisik akal maupun agama. Sedangkan kasbi adalah potensi usaha yang dilakukan manusia bauik laki-laki dan perempuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Qolbah et al., 2023).

Quraisy memahami konteks surat An-Nisa ayat 34 yang menjelaskan bahwa hak prerogatif laki-laki lebih mendukung kepemimpinan dibandingkan keistimewaan perempuan. Perempuan boleh membantu suaminya mencari nafkah karena alasan keuangan, asalkan tidak melepaskan tanggung jawab mengurus rumah tangga. Dengan demikian, pengertian ayat ini bukanlah tentang kepemimpinan laki-laki dalam segala hal yang menyangkut perempuan, melainkan tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan, yang dikaitkan dengan konteks dan alasan ayat tersebut, yaitu hubungan rumah tangga. Di sisi lain, ketika menafsirkan kepemimpinan perempuan di ranah publik, Quraish Shihab merujuk pada konteks surat at-Taubah ayat 71 bahwa makna kata awliyā` yang luas dapat mempengaruhi makna kepemimpinan, yang tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki saja, namun memberi hak kepada manusia untuk menjadi pemimpin selama mereka memiliki kemampuan intelektual dan logika yang baik. Kewajiban antar makhluk lain diperlukan adanya kerja sama dalam berbagai bidang kehidupan, memerintahkan hal-hal yang baik dan mencegah yang buruk (al-amr bil-maʿrūf wan-nahy ʿanil-munkar) (Erviena, 2021).

Zaitunah Subhan juga menyatakan bahwasanya, isi surat An-Nisa ayat 34 bersifat kontekstual, artinya ayat ini disesuaikan dengan konteks sosial tertentu. Ketika konteks sosial berubah, doktrin pun ikut berubah. Sehingga kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga bisa diubah (Setiawan et al., 2022).

Feminis Muslim Maroko, Fatimah Mernissi menyatakan bahwa ajaran Islam memberikan kebebasan kepada perempuan, sehingga perempuan memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi dalam bidang politik dan memiliki bakat dan prestasi yang besar seperti laki-laki dalam politik (Choiri & Fathony, 2021).

Banyak tafsir yang menjelaskan kisah Ratu Balqis. Sebuah kisah yang diriwayatkan pada masa Nabi Sulaiman AS. Banyak pula ulama yang menuliskan kisah ini sebagai contoh keberhasilan pemimpin perempuan. Kisah Ratu Balqis dalam Al-Qur'an tidak sendirian, namun diiringi dengan kisah Nabi Sulaiman yang juga menjabat sebagai raja. Tafsir Maqashidi memahami kisah Ratu Balqis sebagai kemampuan laki-laki dan perempuan menjadi pemimpin. Hal ini ditunjukkan dengan keberhasilan Ratu Balqis dan Nabi Sulaiman dalam memimpin rakyatnya. Kemampuan Ratu Balqis dan Nabi Sulaiman memang tidak perlu diragukan lagi. Keduanya diberi kebebasan memimpin karena mempunyai keterampilan atau kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin (Robikah, 2021).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pandangan tentang apakah wanita dapat menjadi pemimpin dalam Islam bervariasi tergantung pada interpretasi dan konteks budaya. Beberapa ulama Islam mendukung konsep bahwa wanita dapat memimpin dalam berbagai bidang, termasuk politik, ekonomi, dan sosial. Namun, pendapat yang berbeda juga ada, dengan beberapa interpretasi yang menghasilkan batasan terhadap peran wanita dalam kepemimpinan. Ini adalah subjek yang kompleks dan terbuka untuk interpretasi yang beragam dalam Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun