Dalam pandangan ekonomi global modern, perdagangan internasional sering dipromosikan sebagai simbol keterbukaan, kerja sama antarbangsa, dan pertumbuhan ekonomi yang saling menguntungkan. Namun, kenyataan di balik slogan perdagangan bebas ini menunjukkan wajah lain, dimana terlihat wajah ketimpangan, dominasi, dan eksploitasi yang terstruktur. Negara-negara Dunia Ketiga, atau sering disebut Global South, hingga hari ini masih terjebak dalam pola hubungan perdagangan yang timpang, menempatkan mereka sebagai aktor marjinal dalam sistem ekonomi global. Dalam konteks inilah, pendekatan Marxis memberikan sudut pandang yang tajam dan kritis terhadap struktur dan dinamika perdagangan internasional yang ada.
Dalam relasi kelas global, Karl Marx menekankan bahwa dalam masyarakat kapitalis, terdapat dua kelas utama: kapitalis (pemilik alat produksi) dan proletar (kelas pekerja). Hubungan antara keduanya bersifat antagonistik karena bertumpu pada eksploitasi tenaga kerja demi akumulasi nilai lebih oleh pemilik modal. Ketika analisis ini tersebar ke tataran global, terbentuklah hubungan kelas internasional: negara-negara kapitalis maju memainkan peran sebagai kapitalis global, sementara negara-negara Dunia Ketiga berperan sebagai proletariat dalam sistem ekonomi internasional. Mereka menyediakan bahan mentah, tenaga kerja murah, dan pasar konsumsi, sementara nilai lebihnya diserap oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang bermarkas di pusat-pusat kapitalisme global.
Salah satu ciri utama ketimpangan global adalah pola ekspor negara-negara dunia ketiga yang didominasi oleh komoditas primer. Menurut data Bank Dunia (2023), lebih dari 70% ekspor di banyak negara Afrika Sub-Sahara berasal dari bahan mentah seperti minyak, mineral, dan hasil pertanian. Sebaliknya, negara-negara maju mengekspor barang-barang manufaktur berteknologi tinggi dan jasa bernilai tambah. Ketimpangan ini bukan sekedar perbedaan produk, melainkan menunjukkan hubungan nilai bahan mentah dijual murah, sementara produk jadi dijual mahal. Dalam perspektif Marxis, ini adalah bentuk eksploitasi nilai lebih yang terjadi di ranah global.
Negara-negara Dunia Ketiga, akibat struktur ekonomi kolonial yang diwarisi sejak abad ke-19, tidak memiliki basis industri yang kuat. Mereka terjebak dalam posisi ketergantungan terhadap permintaan global atas komoditas primer. Ketika harga komoditas jatuh, seperti yang terjadi pada krisis minyak tahun 2014 atau krisis pangan 2022, negara-negara ini langsung mengalami tekanan ekonomi yang parah. Ketergantungan ini membuat mereka rentan terhadap kelemahan pasar internasional yang dikendalikan oleh negara dan korporasi besar.
Peran Lembaga Internasional: Netral atau Alat Kapital Global?
Institusi seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia sering digambarkan sebagai lembaga yang membantu pembangunan ekonomi dan integrasi global. Namun, dari perspektif Marxis, lembaga-lembaga ini justru menjadi instrumen kelas dominasi kapitalis global. Misalnya, syarat-syarat pinjaman IMF sering kali mengharuskan negara pemberi pinjaman untuk melakukan privatisasi, liberalisasi perdagangan, dan penghapusan subsidi---sebuah paket kebijakan yang dikenal sebagai Structural Adjustment Programs (SAPs).
Menurut laporan dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), negara-negara yang menjalankan SAPs pada era 1980-1990 mengalami penurunan tajam dalam kapasitas industri domestik dan meningkatkan ketimpangan pendapatan. Contohnya adalah Ghana dan Zambia, yang mengalami liberalisasi sektor pertanian dan kehilangan kontrol terhadap harga dan distribusi produk lokal, membuat petani lokal tersingkir dari pasar. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang tampak teknokratis tersebut sebenarnya adalah reproduksi ketimpangan global yang memihak pada kepentingan modal internasional.
Perusahaan Multinasional dan Relokasi Eksploitasi
Perusahaan multinasional (MNCs) menjadi aktor utama dalam sistem perdagangan internasional saat ini. Mereka beroperasi lintas negara, mencari lokasi produksi dengan biaya tenaga kerja rendah dan regulasi lemah. Dalam pandangan Marxis, ini adalah bentuk nyata dari akumulasi kapital global: perusahaan tidak hanya mengeksploitasi buruh di negeri, tetapi memperluas eksploitasi ke negara-negara Dunia Ketiga. Menurut data Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2022, pekerja pabrik di Bangladesh dan Kamboja bekerja rata-rata 60 jam per minggu dengan upah bulanan di bawah USD 150. Produk mereka dijual di negara maju dengan harga berlipat ganda.
Fenomena ini dikenal sebagai race to the bottom , di mana negara-negara bersaing menawarkan buruh murah dan regulasi ramah investor demi menarik investasi asing. Akibatnya, negara-negara Dunia Ketiga tidak mempunyai posisi tawar untuk melindungi hak buruh dan lingkungan. Sementara itu, keuntungan maksimal dapat dinikmati oleh pemegang saham dan manajer puncak di negara-negara maju. Marxisme membaca ini sebagai bentuk perampasan nilai lebih global yang berakhir pada konsentrasi kekayaan di tangan segelintir elit transnasional.
Ketimpangan dalam rantai pasok global di era globalisasi, perdagangan tidak lagi berupa pertukaran barang jadi. Melainkan integrasi kompleks dalam rantai nilai global (GVCs). Negara-negara berkembang umumnya hanya terlibat pada tahap awal rantai nilai: produksi bahan mentah, perakitan awal, atau pengemasan. Mereka tidak mengakses sektor bernilai tinggi seperti penelitian, desain, distribusi, atau branding. Dalam laporan OECD tahun 2023, hanya 10% dari total nilai tambah produk elektronik global yang berasal dari negara-negara berkembang, meskipun sebagian besar proses produksinya dilakukan di sana.
Hal ini mencerminkan struktur piramida dalam kapitalisme global. Negara-negara Dunia Ketiga tetap berada di lapisan bawah rantai nilai, sementara kontrol dan akumulasi keuntungan dikonsentrasikan di pusat. Dalam bahasa Marxis, ini adalah bukti bahwa hubungan produksi dan distribusi global tidak netral, melainkan dibentuk oleh kekuasaan kelas dan dominasi kapital.
Kritik terhadap Ide Perdagangan Bebas
Gagasan perdagangan bebas yang digaungkan oleh WTO dan negara-negara Barat tampak indah di permukaan keterbukaan pasar, peningkatan efisiensi, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, perdagangan bebas dalam praktiknya sangat timpang. Negara maju menerapkan tarif rendah untuk produk yang mereka perlukan, namun tetap melindungi sektor strategisnya, terutama pertanian dan manufaktur tinggi. Sementara itu, negara-negara berkembang ditekan untuk membuka pasar dan meniadakan subsidi, membuat mereka tidak kompetitif.
Contohnya, petani kapas di Mali, Burkina Faso, dan Chad harus bersaing dengan petani di AS yang mendapatkan subsidi lebih dari USD 3 miliar per tahun. Akibatnya, harga kapas dunia turun dan petani Afrika tidak bisa menutupi biaya produksi. Ini adalah ironi dari perdagangan bebas: kebebasan yang hanya dinikmati oleh mereka yang kuat, dan menjadi jebakan bagi yang lemah.
Menuju Alternatif Emansipatoris
Marxisme tidak hanya mengkritik, tetapi juga mengusulkan alternatif lain. Untuk keluar dari cengkeraman perdagangan yang timpang, negara-negara Dunia Ketiga perlu membangun solidaritas ekonomi di antara sesama negara berkembang. Inisiatif seperti BRICS, perdagangan intra-Afrika (melalui AFCFTA), dan penguatan ekonomi berbasis komunitas adalah langkah kecil menuju kemandirian.
Selain itu, perlu adanya reformasi global yang mendorong transfer teknologi, kekuasaan kekuasaan MNC, dan sistem perdagangan yang adil berdasarkan prinsip kesetaraan, bukan sekadar liberalisasi. Negara-negara Dunia Ketiga juga harus memperjuangkan hak untuk melindungi industri domestiknya agar bisa naik kelas dalam rantai nilai global.
hal ini menyampaikan dalam kacamata Marxisme perdagangan internasional bukan sekadar mekanisme pertukaran barang, tetapi arena konflik kelas global. Negara-negara Dunia Ketiga bukan hanya mitra dagang, melainkan korban dari sistem yang dirancang untuk memaksimalkan akumulasi modal di pusat-pusat ekonomi dunia. Relasi ini berlangsung bukan hanya karena ketidaktahuan atau kelemahan, tetapi karena struktur ekonomi-politik global memang dibangun di atas eksploitasi logika.
Jika dunia ingin keluar dari jurang ketimpangan yang semakin dalam, maka pendekatan yang hanya mengandalkan mekanisme pasar tidaklah cukup. Diperlukan analisis kritis yang menantang struktur yang ada, dan di akhir Marxisme menawarkan alat konseptual yang relevan. Dunia Ketiga tidak boleh terus-menerus menjadi pinggiran dari sistem global, melainkan harus menjadi subjek yang sadar akan maju dan berani membangun jalan alternatif menuju keadilan ekonomi global.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI