Hal ini mencerminkan struktur piramida dalam kapitalisme global. Negara-negara Dunia Ketiga tetap berada di lapisan bawah rantai nilai, sementara kontrol dan akumulasi keuntungan dikonsentrasikan di pusat. Dalam bahasa Marxis, ini adalah bukti bahwa hubungan produksi dan distribusi global tidak netral, melainkan dibentuk oleh kekuasaan kelas dan dominasi kapital.
Kritik terhadap Ide Perdagangan Bebas
Gagasan perdagangan bebas yang digaungkan oleh WTO dan negara-negara Barat tampak indah di permukaan keterbukaan pasar, peningkatan efisiensi, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, perdagangan bebas dalam praktiknya sangat timpang. Negara maju menerapkan tarif rendah untuk produk yang mereka perlukan, namun tetap melindungi sektor strategisnya, terutama pertanian dan manufaktur tinggi. Sementara itu, negara-negara berkembang ditekan untuk membuka pasar dan meniadakan subsidi, membuat mereka tidak kompetitif.
Contohnya, petani kapas di Mali, Burkina Faso, dan Chad harus bersaing dengan petani di AS yang mendapatkan subsidi lebih dari USD 3 miliar per tahun. Akibatnya, harga kapas dunia turun dan petani Afrika tidak bisa menutupi biaya produksi. Ini adalah ironi dari perdagangan bebas: kebebasan yang hanya dinikmati oleh mereka yang kuat, dan menjadi jebakan bagi yang lemah.
Menuju Alternatif Emansipatoris
Marxisme tidak hanya mengkritik, tetapi juga mengusulkan alternatif lain. Untuk keluar dari cengkeraman perdagangan yang timpang, negara-negara Dunia Ketiga perlu membangun solidaritas ekonomi di antara sesama negara berkembang. Inisiatif seperti BRICS, perdagangan intra-Afrika (melalui AFCFTA), dan penguatan ekonomi berbasis komunitas adalah langkah kecil menuju kemandirian.
Selain itu, perlu adanya reformasi global yang mendorong transfer teknologi, kekuasaan kekuasaan MNC, dan sistem perdagangan yang adil berdasarkan prinsip kesetaraan, bukan sekadar liberalisasi. Negara-negara Dunia Ketiga juga harus memperjuangkan hak untuk melindungi industri domestiknya agar bisa naik kelas dalam rantai nilai global.
hal ini menyampaikan dalam kacamata Marxisme perdagangan internasional bukan sekadar mekanisme pertukaran barang, tetapi arena konflik kelas global. Negara-negara Dunia Ketiga bukan hanya mitra dagang, melainkan korban dari sistem yang dirancang untuk memaksimalkan akumulasi modal di pusat-pusat ekonomi dunia. Relasi ini berlangsung bukan hanya karena ketidaktahuan atau kelemahan, tetapi karena struktur ekonomi-politik global memang dibangun di atas eksploitasi logika.
Jika dunia ingin keluar dari jurang ketimpangan yang semakin dalam, maka pendekatan yang hanya mengandalkan mekanisme pasar tidaklah cukup. Diperlukan analisis kritis yang menantang struktur yang ada, dan di akhir Marxisme menawarkan alat konseptual yang relevan. Dunia Ketiga tidak boleh terus-menerus menjadi pinggiran dari sistem global, melainkan harus menjadi subjek yang sadar akan maju dan berani membangun jalan alternatif menuju keadilan ekonomi global.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI