Mohon tunggu...
Amelia
Amelia Mohon Tunggu... Tutor - Menulis Dengan Tujuan

Penulis amatir , mencari inspirasi dan terinspirasi

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Hidup Sudah Irit, Akhir Bulan Tetap Sulit

7 Maret 2024   11:55 Diperbarui: 12 Maret 2024   15:02 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan suami istri yang sedang mengamati tagihan (Dok. Kompas.com)

Moment ketika menerima uang bulanan dari suami akhir-akhir ini jadi biasa saja. Bukannya gak bersyukur. Pemasukan uang yang masuk setiap bulan tidak bertambah. Namun, pengeluaran yang bertambah!. Harus pake tanda seru karena saking keselnya. 

Bahkan tahun lalu, suami saya mengalami potong gaji di saat sedang tingginya pengeluaran. Di saat anak kedua kami masuk sekolah dasar. Potong gaji yang terkesan mendadak dan bagaikan hukuman bagi kami  terutama suami sebagai seorang karyawan. 

Bagaimana kalang-kabutnya kami menghadapi dan membayar uang masuk sekolah anak kedua kami, yang notabene sekolah negeri. Belum lagi kebutuhan sekolah lainnya. 

Bulan itu menjadi bulan yang menyiksa bagi kami. Bagaimana saya harus mengatur uang 200.000 untuk makan dan ojek online anak-anak ke sekolah. 

Alhamdulillahnya saya masih aktif mengajar. Walaupun sulit juga keadaannya. Saya berpikiran, ketika hidup berumah tangga, tidak ingin mengandalkan hidup hanya dari penghasilan suami. 


Betapa ngenes nya jika saya ingin membeli keperluan pribadi harus menunggu suami gajian. Berkaca dari yang saya lihat, ternyata benarkan. 

Uang suami sudah full untuk keperluan pendidikan anak -anak. Gak ada lebih untuk mengisi kebutuhan pribadinya.. Apalagi saya ? Kalau lagi ada lebih, suami saya baru membeli kebutuhan pribadinya. 

Jadi daripada saya merengek minta -minta , kalau gak urgent. Lebih baik mencari pitih sendiri. Lho, kan sudah ada suami, minta uang ke suami lebih terjamin kan ? Tidak juga. Karena saya juga tahu rincian pengeluarannya.

Terkadang saya berpikir dan berdikusi kepadanya: "Jadi apa yang membuat kita belom juga kaya?"

Ada beberapa point. 

  • Pemasukan yang tidak bertambah
  • Pengeluaran selalu bertambah
  • Penggunaan fasilitas kesehatan dari pemerintah yang tidak maksimal
  • Tidak ada sisa uang untuk menabung atau dana cadangan
  • Pengeluaran terbesar mayoritas makanan dan transportasi

Pengiritan selama ini kami lakukan , karena kami tidak membiasakan hal-hal tersebut

  • Meminimalisir makan-makan di luar, seperti di cafe dan restoran
  • Meminimalisir berpergian keluar kota
  • Tidak lagi berbelanja bulanan ke supermarket
  • Meminimalisir pertemuan yang tidak perlu, entah acara sekolah, acara komplek dan lain-lain.
  • Tidak nekat mengambil cicilan

Jadi intinya, irit nya hidup kami sudah sesuai. Bukannya pelit, karena saya seorang introvert dan ini menguntungkan saya. 

Kenapa? Jika kita sering bergaul dan terlanjur nyemplung, bayangin seberapa sering uang akan habis untuk sedekar makan-makan gak perlu, belum lagi harus 'terpaksa' menyenangkan orang lain. 

Kalau sering kumpul-kumpul tiba -tiba menghilang, pasti akan jadi pertanyaan juga? Masalah terus berlanjut. 

Selain itu titik masalah lainnya adalah, saya dan suami tinggal berjauhan. Suami bekerja di luar kota. Otomatis pengeluaran jadi 2 dapur. Jika ayahnya anak-anak bekerja di kota yang sama. Maka ongkos anak-anak sekolah akan menjadi lebih ringan. 

Terlebih saya tidak bisa mengendarai motor. Selain itu, setelah menikah, saya pindah mengikuti domisili suami tinggal, yaitu di kawasan Kota Mandiri. Kota Mandiri sebetulnya nyaman dan strategis, yang mana tempat terdekat saya berbelanja kebutuhan adalah, pasar modern. 

Belanja 100.000 ke pasar di situasi seperti saya, mungkin gak dapat banyak bahan makanan. Karena saya harus membagi dengan keperluan lainnya. Seperti sabun mandi, sabun cuci piring, baju dan lain-lain. Pastinya gak ada cukup kan ?

Lain cerita jika saya main ke rumah orang tua saya di Pamulang. Wah , belanja ke pasar tradisional di sana, berasa orang kaya. Dengan uang 100.000 sudah bisa dapet roti tawar 2 pak dengan harga 14.000. D

Kalau di tempat saya, 14.000 hanya dapat 1 pak roti tawar. Jajanan pun lebih murah dam variatif. Di kota modern ini, saya gak bisa banyak mimpi ingin ini itu. Jajan pun mikir. 

Bayangkan perbandingannya:

  • Ayam ungkep di pasar modern 1 potong (10.000) vs ayam ungkep di pasar tradisional 1 potong (4000 - 5000 / potong). 
  • Pisang lampung 1 sisir 10.000 di pasar modern vs pisang lampung di pasar tradisional 5000
  • Timun 5pc 7000 di pasar modern vs timun 4pc 4000 di pasar ttradisional

Gimana gak boncos?

Selain itu, sedang rutinnya anak-anak mengalami sakit. Hampir tiap bulan. Kami sudah tidak rutin menggunakan bpjs. Karena kapok dengan antrian yang mengular dan memakan waktu berobat menjadi melelahkan. 

Bukan 1 anak tapi 3 anak yang saya bawa berobat. 1 anak sakit sudah pasti semua tertular, terlebih jika anak-anak sakit batuk pilek. Untuk memotong kelelahan yang luar biasa, saya lebih memilih berobat ke klinik. Karena masih terjangkau. 

Jadi selama 3 tahun ini adalah tahun yang melatih mental dan keuangan kami supaya saya tidak cengeng dengan keadaan. Berat memang menjadi kelas menengah. 

Saya dan suami bukan termasuk orang -orang yang hidup nyaman dengan cicilan dan kreditan. Harusnya keuangan kami aman dan masih ada sisa untuk menabung. 

Kenyataannya adalah tidak. Solusinya, mencari penghasilan tambahan yang belum ketemu. Jadi gaji pegawai tidak naik, justru pengeluaran yang naik. Saya tidak bisa berharap banyak. Tentunya doa yang di perbanyak agar segala kesulitan kami di tolong oleh Tuhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun