Aku termenung membaca surat itu. Ada rasa sesak yang menghempas dadaku. Bagaimana bisa, satu pelukan menjadi begitu berarti di mata seorang anak. Sebagai guru, aku selalu berpikir bahwa tugasku adalah mengajar. Menyampaikan materi, memberi nilai, dan memastikan siswa lulus. Tapi hari itu, aku sadar bahwa tugasku jauh lebih besar. Guru bukan hanya pengajar. Guru adalah penyemangat, pendengar, pelindung, dan kadang... pelukan pertama yang mereka rasa dalam kehidupan.
Sejak hari itu, aku berjanji untuk lebih peka. Untuk melihat lebih dalam dari sekadar nilai ujian. Untuk mendengar lebih banyak dari sekadar jawaban ulangan di kelas. Karena tidak semua anak datang ke sekolah dalam keadaan siap belajar, terkadang ada yang datang dengan luka batin dan kekosongan. Mereka hanya butuh seseorang yang bisa memicu potensi yang sebetulnya sudah ada di alam bawah sadarnya.
Kini, Gita sudah menjalani pendidikan di sekolah kedinasan itu. Sesekali ia mengirim pesan, bercerita tentang tantangan dan semangatnya. Ia bilang, "Bu, aku ingin jadi orang yang bisa bantu anak-anak seperti aku dulu."
Dan aku tahu, ia akan melakukannya. Karena ia sudah membuktikan bahwa ia bukan sekadar anak yang hadir di kelas. Ia adalah anak hebat hasil dari aspirasi pendidikan bermutu untuk semua. Anak yang lahir dari pelukan simpati, tumbuh dengan dorongan semangat, dan kini terbang dengan sejuta visi dikepalanya.
Sebagai guru, aku tidak punya kekuatan super. Tapi aku punya hati. Dan kadang, itu cukup untuk mengubah hidup seseorang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI