Mohon tunggu...
Alfonsho Olanamake
Alfonsho Olanamake Mohon Tunggu... Tulisan apa saja dan kadang tak beraturan

"Fiat Voluntas Tua"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sudahkah Kita Bersyukur?

10 September 2025   13:35 Diperbarui: 10 September 2025   13:35 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

       Tanpa diundang, entah siap ataupun tidak, pagi selalu hadir. Ia tak memperdulikan matamu yang masih merem, atau kusutnya seprai tempat tidurmu. Begitupun dengan fajar paginya, ia tak menunggu restumu untuk menyelinap masuk melalui ventilasi kamarmu, menerangi ruangan yang gelap, berantakan penuh dengan tumpukan revisi dari doesn.

Seperti lirik lagunya Boomerang, "Fajar Pagi, Kau ku resapi" Ia begitu hangat, namun tidak mampu menghangatkan hati si Renty yang lagi beku. Iya,,aku adalah Renty Mahasiswi semester 8 yang berasal dari pulau seberang. Segala tugas akhir yang telah aku kerjakan seakan tak ada hasil, setiap kali harus bolak balik, kampus dan ke rumah dosen Pembimbing Skripsi, namun sejauh ini belum menemukan titik terang, revisi terus, dan terus, kamarku penuh dengan tumpukan revisi. Aku,,,,aku benar-benar merasa berada di titik terendah dalam hidup.

Beberapa hari terakhir ini, hidupku terasa seperti jembatan yang rusak. Sehingga tak mampu menghubungkan aku pada tujuan di sebelah sana. Ayah di kampung jatuh sakit, biaya sewa kos semakin membengkak, biaya print Skripsi yang semakin hari semakin banyak, tugas Skripsi yang belum kelar dan aku merasa sendirian di kota ini. Aku mulai mempertanyakan segalanya. Apa gunanya aku berusaha keras jika pada akhirnya hanya merasakan kepahitan?

Apa arti perjuangan ini?

Apa arti semua pengorbanan ini?

Terlalu penting kah sebuah gelar sarjana ini?

Terlalu berharga kah selembar Ijazah itu?

*****

Suatu sore, dengan hati yang berat, pikiran yang kacau, aku memutuskan untuk pergi ke Pantai Manikin. Aku ingin mencari ketenangan, atau mungkin sekadar melarikan diri dari kenyataan, dari hiruk-pikuknya kota, dari ruwetnya urusan Skripsi dan tumpukan revisi yang berserakan.

Ombak berdebur lembut, angin bertiup sepoi-sepoi, tapi pikiranku tetap berkecamuk. Aku duduk di bawah Pohon Kabesak, memandangi hamparan laut yang luas.

Dalam kesendirian di bibir Pantai Manikin, tiba-tiba, seorang nenek tua menghampiriku. Kulitnya keriput, tapi matanya memancarkan ketenangan dan kedamaian. Ditangannya memegang beberapa kantong sirih dan pinang, sedangkan di sisi lain ada sisa jualan sayur-mayurnya, Ia duduk di sampingku tanpa berkata apa-apa. Kami terdiam cukup lama, hanya suara ombak yang menemani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun