Apalagi tren sekarang, demi mengejar 'viral' dan viewer yang banyak, konten-konten yang tak seharusnya dipublikasikan justru menjadi renyah untuk dipertontonkan.
Ataupun sebaliknya, para 'penikmat' dari konten-konten yang berbau sensasional seperti joget-joget atau memamerkan belahan-belahan tertentu dari tubuh justru dianggap sebagai pemuas hasrat atau ego yang paling manjur.
Inilah anomali yang menjadi banal dari berkonten. Semakin 'bebas' orang berkonten dengan iming-iming viral dan monetisasi, filter etika dan moral pun dibuang jauh.
Oleh karena itu, berangkat dari fenomena tersebutlah, kebijaksanaan Stoa kiranya perlu untuk digaungkan kembali agar semakin bijak dan bajik dalam mengolah dan mengonsumsi konten-konten yang berseliweran khususnya pada platform Facebook.
Filsafat Stoa atau yang dikenal dengan nama Stoa lahir di masa Hellenestik Yunani Kuno.Â
Nama Stoa sendiri diambil dari nama tempat di Athena yakni tiang yang berada di Agora atau pasar. Di mana di tempat ini, para pemikir Stoa suka berkumpul untuk saling berdiskusi hingga menghasilkan ide-ide pencerahan.
Bagi kaum Stoa, hidup yang bahagia dan penuh merupakan tujuan hidup yang tertinggi. Dengan akal budinya, manusia bisa mencapai tiga hal yakni; ketenangan batin (ataraxia), kemandirian hidup (autarkia) dan kepenuhan hidup (eudaimonia).
Dari ketiga keutamaan di atas dalam praksisnya perlu memperhatikan dua hal berikut:
pertama, manusia harus belajar mengendalikan hal-hal yang bisa mereka kendalikan, seperti: penilaian, hasrat dan perilaku keseharian.
Kedua, manusia harus bersikap terbuka dan bebas terhadap hal-hal yang berada di luar kendali, seperti keadaan di luar diri yang terus berubah.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!