Mohon tunggu...
Konstan Aman
Konstan Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menakar Pentingnya Pendidikan Kebencanaan Sejak Dini di Indonesia

17 April 2024   13:02 Diperbarui: 17 April 2024   13:40 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Grid.ID)

Bencana alam seyogyanya telah mendarah daging di Indonesia. Hal ini terjadi selain Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbanyak juga disebabkan oleh letak Indonesia yang berada tepat di antara tiga pertemuan lempeng tektonik yakni lempeng eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik. 

Kenyataan inilah yang menyebabkan Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat rawan akan bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, banjir, tanah longsor dan puting beliung. Peristiwa-peristiwa alam tersebut selalu saja terjadi bahkan setiap tahun. 

Sebut saja misalnya banjir, tanah longsor dan letusan gunung berapi. Ketiganya pun hampir dipastikan telah terjadwal untuk selalu menghantam Indonesia setiap tahun.

Akibatnya pun sangat buruk, seperti kehancuran total di berbagai sendi kehidupan termasuk menerjang nyawa manusia sekalipun. Dan Indonesia pun sudah sangat kenyang dengan dampak tersebut.

Penyebab terjadinya pun ada dua yakni selain karena sifat alami dari alam itu sendiri juga karena ulah dari manusia yang semena-mena terhadap lingkungan.


Dengan menelisik fakta Kebencanaan tersebut di atas maka sudah sepatutnya untuk menerapkan pendidikan tentang Kebencanaan.

Tentunya terkait hal ini, berdasarkan pengalaman kebencanaan yang kerap terjadi selama ini, mitigasi merupakan salah satu upaya alternatif yang diterapkan oleh pemerintah dalam hal ini melalui Badan Penanggulangan Bencana (BPB) adalah melalui langkah mitigasi.

Hal ini seyogyanya telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2007.

Menurut UU 24 Tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Langkah-langkahnya pun yakni; 

Pertama, melakukan sosialisasi terkait bencana kepada masyarakat dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran terkait bencana dan resikonya. Terutama dalam hal ini adalah bagi masyarakat yang bermukim di daerah-daerah yang sangat rawan dengan bencana.

Kedua, melakukan perencanaan yang matang sembari membaca pengalaman bencana yang pernah terjadi dan akan berpotensi terjadi, sehingga dapat meminimalisir resiko dan korban jiwa.

Ketiga, melakukan respons, tahap ini dilakukan pasca terjadinya gempa.

Tujuannya adalah untuk meminimalkan bahaya yang timbul akibat bencana

Keempat, pemulihan. Langkah ini merupakan langkah yang perlu diambil setelah bencana terjadi guna mengembalikan kondisi masyarakat seperti semula. Fokus atau perhatian utama dalam hal ini adalah pada penyediaan tempat tinggal sementara bagi korban serta membangun kembali saran dan prasarana yang rusak.

Berdasarkan siklus waktunya, kegiatan penanganan bencana dapat dibagi 4 kategori : kegiatan sebelum bencana terjadi, kegiatan saat bencana terjadi,  kegiatan tepat setelah bencana terjadi,  kegiatan pasca bencana yang meliputi pemulihan, penyembuhan, perbaikan, dan rehabilitasi.

(Bdk.https://bpbd.bogorkab.go.id/mitigasi-adalah-upaya-mengurangi-risiko-berikut-langkah-langkah-dan-contohnya/, 2024) 

Upaya atau langkah mitigasi tersebut sejatinya merupakan langkah yang sangat baik sehingga kesadaran masyarakat terkait bencana alam serta resiko dan upaya penyelamatan dari resiko bencana akan bertumbuh. Masyarakat pun akan selalu siaga dengan bencana.

Namun, jika ditelaah secara mendalam upaya atau langkah mitigasi yang dilaksanakan tersebut di atas, masih sangat kental pada tataran normatif semata, sehingga memunculkan posisi biner yakni aktif dan pasif. 

Pemerintah dalam hal ini lewat Badan Penanggulangan Bencana (BPB) hadir sebagai pihak yang aktif (subjek) yang didorong oleh roh normatif Undang-Undang, sedangkan masyarakat (korban) bencana sebagai pihak yang pasif (objek) dari penanggulangan atau mitigasi yang dicanangkan oleh pemerintah. 

Sementara dalam kondisi tertentu, psikologi masyarakat hanya dikuasai oleh roh kepanikan, ketakutan dan kegugupan. Kalau saja masih selamat atau hidup di dalam lain.

Membaca situasi ini maka pendidikan kebencanaan sejatinya harus diinstall sejak dini bagi semua warga Indonesia.

Tujuannya adalah agar kesadaran terkait bencana dan kebencanaan sudah tumbuh dan berkembang sejak awal.

Tentu jalur pendidikan melalui kurikulum merupakan jembatan terbaik untuk menerapkan hal demikian. 

Tentu substansinya adalah bagaimana sekolah sedemikian rupa merancang sebuah wadah khusus guna menyalurkan pengetahuan tentang kebencanaan serta upaya-upaya penyelamatan dari situasi bencana.

 Bagaimana siswa siswi dapat meresapi literasi seputar kebencanaan sehingga paradigma yang positif dan kritis dapat bertumbuh sejak dini. Mulai dari TK hingga perguruan tinggi.

Oleh karena itu, terkait dengan hal ini, kita bisa belajar dari negara lain seperti Jepang yang telah menerapkan pendidikan kebencanaan sejak dini. 

Seperti untuk memperkenalkan dan membentuk sikap siap akan bencana.

Tujuan utama dari pendidikan ketahanan bencana adalah untuk meningkatkan kemampuan dan sikap proaktif mencegah bencana, dan pada saat terjadi bencana, dengan meningkatkan kesadaran ketahanan terhadap bencana masing-masing individu.

Pada 11 maret 2011, saat Bencana Gempa dan Tsunami yang melanda Prefektur Fukushima, dilaporkan terdapat satu sekolah yang berhasil mengimplementasikan edukasi mitigasi bencana yang telah dilatih berulang-ulang setiap tahunnya.

Peristiwa tersebut akhirnya dikenal dengan The Miracle of Kamaishi.

Pada hari terjadinya bencana, SD dan SMP Kamaishi, Prefektur Iwate berhasil melakukan evakuasi dan selamat dari bencana tsunami.

Mereka telah menerapkan edukasi dan pelatihan terkait bencana dengan tiga tujuan, yaitu:

Pertama, Bertanggungjawab untuk melindungi diri sendiri.

Kedua, Dari seseorang yang diselamatkan menjadi penyelamat.

Ketiga, Mewariskan budaya ketahanan bencana.

 (bdk. Kiryoku: Jurnal Studi Kejepangan, Volume 5 No 1 2021e-ISSN:2581-0960 p-ISSN: 2599-0497, hlm. 31).

Dengan melihat keberhasilan yang ditunjukkan oleh sekolah tersebut sejatinya mengandaikan keberhasilan dari penerapan pendidikan kebencanaan di sekolah.

Dengan demikian, sudah semestinya hal serupa dapat diterapkan juga di Indonesia. Sehingga setiap orang terpanggil untuk proaktif ketika bencana terjadi. 

Dan untuk mendukung hal ini sangat dibutuhkan kerjasama yang baik dari semua pihak yang memiliki perhatian khusus terkait dunia kebencanaan. 

#Semoga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun