Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keganasan Menu Hidangan

22 Februari 2020   13:01 Diperbarui: 22 Februari 2020   13:03 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebebasan tak selamanya mutlak dalam arti lepas sama sekali dari kewajiban dan beban. Kejatuhan manusia justru berawal dari kesalahan dalam menafsir dan mengejawantahkan kebebasan itu persis lewat hal-hal yang sepele. Dalam contoh kasus di atas, sangat jelas bahwa manusia terlarut dalam kebebasannya dan lupa akan tanggung jawabnya dalam menentukkan pilihan. 

Lagi-lagi menurut Sartre, kebebasan adalah sesuatu yang erat kaitannya dengan tanggung jawab, dan tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian Sartre sebenarnya mau mengatakan bahwa sebenarnya kebebasan yang dimiliki oleh manusia itu juga mengandaikan adanya suatu tanggungjawab. Kebebasan menuntut adanya suatu tanggungjawab yang sejatinya melekat pada kebebasan yang dimiliki oleh manusia.

Kebebasan yang ditunjukkan oleh para undangan dalam ilustrasi tersebut di atas adalah kebebasan yang terselubung dalam kepentingan diri. Semua tamu undangan menampilkan diri yang egois yang membuatnya menjadi rakus untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan oleh tuan pesta. Persis di sini manusia menjadi obyek dari kebebasannya sendiri serta menjadi budak keegoisanya itu. 

Menu makanan yang telah disediakan itu sejatinya 'baik' adanya. Namun dianggap 'salah' setelah dikonsumsikan secara rakus tanpa ampun oleh manusia sebagai subyek yang bebas. Menu makanan sejatinya merupakan objek yang melaluinya manusia dapat menemukan nilai moral bagi dirinya sendiri. 

Makanan sebagai objek di mana manusia dapat mengadaptasikan dirinya untuk menemukan hal yang baik dan buruk. Baik dalam arti apabila makanan itu dapat membantunya untuk menyehatkan badan dan buruk apabila makanan itu dapat mendatangkan sakit dan kematian. Karena itu, lagi-lagi bukan makananlah yang membuat manusia itu menjadi obyek dalam hal benar dan salah, melainkan bagaimana ia sebagai subyek yang berakal memposisikan dirinya untuk memilih dan mencicipi makanan itu secara rasional.    

Rasa nikmat, asin, asam, pahit dan sebagainya yang timbul dari rupa-rupa jenis menu makanan itu tergantung lidah yang mengecapnya. Manusia sebagai subyek 'perasa' dengan indera pengecapnya dapat menentukan mana rasa yang paling cocok seturut dengan kebutuhan perut. Karena itu untuk menentukan pengaruh baik buruknya menu-menu itu hendaknya sejalan dengan pertimbangan nalar yang kuat dan penuh kritis dan sedapat mungkin nalar selalu mendahului semua pilihan--pilihan itu.            

Kebebasan selalu bersamaan dengan keinginan. Keinginan setiap orang bermacam-macam dan sifatnya kontinuitas seturut dengan kebutuhan. Namun, terkadang manusia dalam mengekspresikan kebebasannya justru menjadi rapuh karena dikekang oleh keinginan-keinginan liar yang tak terbendungi. 

Keinginan-keinginan yang liar ini muncul ketika manusia tidak lagi memandang dirinya sebagai makhluk yang berakal melainkan lebih pada diri yang buas layaknya 'binatang'. 

Manusia tidak lagi mampu untuk mengontrol diri, karena hawa nafsu telah terlanjur menguasainya lebih dulu. Manusia menjadi makhluk yang penguasa dan otoriter. Misalnya dalam ilustrasi menampilkan bahwa semua undangan asyik menikmati sate, daging rendang, ikan bakar dan babi guling. 

Menu yang disediakan ini sejatinya merupakan berasal dari daging yang diperoleh dari hewan atau binatang baik yang dipelihara maupun yang ditangkap dari hutan. Hewan-hewan ini dibantai secara masal demi menghasilkan daging yang lezat dan menarik perut tiap orang dalam tenda pesta. 

Barangkali dalam konteks ini jika dilihat secara lebih mendalam dapat disimpulkan bahwa manusia dan binatang adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang saling berelasi satu sama lain. Namun, dalam menjalin hubungannya ini manusia justru menampilkan hubungan sama seperti hubungan antara Hitler dengan orang-orang Yahudi pada dekade 1933 sampai 1945 di Jerman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun