Sejenak saya bergeming dalam kekalutan ketika sedang membaca sepintas sebuah berita di laman facebook bahwa gubernur NTT melarang keluarga miskin untuk berkembang biak (beranak). Ah, memang persoalannya seperti apa, kok seorang pemimpin daerah melontarkan pernyataan demikian. Saya pun semakin penasaran terkait apa latar belakang dibalik pernyataan beliau tersebut.Â
Lalu mencoba untuk searching di internet untuk mengetahui alasan di balik pernyataan yang sangat kontroversial itu. Belum lagi banyak netizen yang berceloteh keras mempersoalkan pernyataan sang bapak gubernur tersebut. Tentu, sebagai warga NTT juga saya turut merasakan gejolak tersendiri untuk berkomentar. Â
Ternyata setelah saya membaca berita  yang telah dimuat dalam media Gatra.com lantas saya menemukan persoalannya yakni terkait masalah stunting pada anak yang terus meningkat di kabupaten Timor Tengah Selatan yakni 48 persen. Peningkatan persoalan stunting (gizi buruk) ini ternyata berkontribusi dengan meningginya persentase kemiskinan di TTS yakni 27 persen. Hal ini diungkapkan oleh bapak gubernur pada saat Raker bersama pemerintah TTS pada 13 Februaru yang lalu. Selengkapnya silahkan baca di sini gatra.com
Lalu sebagai langkah solutifnya, pak Viktor secara menohok menyuruh semua jajaran kerjanya saling kerja sama untuk melarang keluarga miskin agar tidak boleh ada anak lagi. Kok bisa gitu solusi akhirnya pak? Saya yang belum memiliki momongan merasa tersinggung ni pak. heheheh
Dan sebelumnya saya mau bertanya dulu nih pak Viktor, masalah utamanya di sini apa pak, persoalan gizi buruk atau persolaan prokreasi?
Sekedar berkomentar
Ungkapan bapak untuk mengatasi persoalan stunting pada anak di TTS dan NTT umumnya dengan melakukan pelarangan tindakan prokreasi menurut saya sangatlah gamblang. Persoalan gizi buruk merupakan persoalan politis bila bapak mengolahnya dari sisi bapak sebagai juru kunci kebijakan publik. Saya setuju bila salah satu sebab dari sekian kategori terkait persoalan kemiskinan di NTT ini adalah masalah stunting pada balita.
Hal ini terjadi selain karena faktor sanitasi yang minim, pengetahuan masyarakat tentang pentingnya menjaga hidup sehat masih kurang juga sosialisasi untuk membudayakan hidup sehat di masyarakat oleh pihak-pihak terkait dalam hal ini dinas kesehatan daerah juga belum nampak.
Sangat jarang penduduk yang bermukim di daerah yang udik atau suku di pedalaman mampu mendapatkan akses kesehatan yang layak. Belum lagi termasuk keadaan fasilitas kesehatan yang tidak memadai dan sama sekali belum mampu untuk menjangkaui setiap pelosok daerah. Sekalipun fasilitas sudah ada, tenaga medis yang terpanggil untuk melakukan pelayanan kesehatan di dalamnya juga belum menunjukkan kinerjanya dengan baik. Akibatnya, bila ada warga yang membutuhkan pertolongan medis pasti larinya ke dukun kampung.
Ibu hamil tidak mempunyai tempat untuk berkonsultasi soal kondisi kandungannya. Apalagi kalau hendak bersalin semua proses di dalamnya langsung ditangani secara tradisional. Prinsipnya asal lahir dengan selamat. Sedangkan proses asupan gizi untuk si ibu dengan bayi selanjutnya tidak diperhatikan.
Minimnya pengetahuan mengenai gizi yang memadai untuk si bayi menyebabkan proses pertumbuhan bayi melambat. Fungsi otak dan semua organ lainnya menjadi lamban. Kondisi demikian membuat si bayi mudah terserang penyakit hingga meninggal dunia. untuk mendapatkan pelayanan medis yang memadai harus ke kota sehingga membutuhkan tenaga yang ekstra dengan biaya yang besar pula.