Mohon tunggu...
Konstan Aman
Konstan Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hujan, antara Berkah atau Kutukan?

28 Januari 2020   08:43 Diperbarui: 28 Januari 2020   08:51 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Medcom.id/M Rizal

Begitu juga untuk komoditas lainnya juga bisa tumbuh dan berbuah bila adanya 'campur tangan' hujan di dalamnya. Rumput-rumput tumbuh segar menguntungkan para gembala ternak. Hutan terjaga, mata air selalu lancar dan manusia pun bisa mempertahankan hidup. Semuanya adalah berkah dari hujan.   

Berkat hujan juga manusia mampu menciptakan teknologi seperti pembangkit listrik tenaga air. Dalam hal ini guyuran air hujan memenuhi semua kali dan selanjutnya dimanfaatkan oleh manusia untuk menghasilkan energi listrik. Dengan adanya listrik, semua pekerjaan menjadi ringan untuk diselesaikan. Dan masih banyak dampak positif lainnya dari hujan yang dikembangkan oleh manusia untuk menunjang semua kebutuhan hidup.

Sebaliknya di lain sisi, hujan justru dilihat sebagai sebuah bencana. Hujan yang deras terutama dalam tempo yang tak menentu menyebabkan bencana besar bagi kehidupan. 

Pertama, terhadap lingkungan hidup. Tanah menjadi longsor menyebabkan infrasutruktur dan rumah hunian manusia berantakan, semua sungai besar di kota seperti di Jakarta meluap dan banjir melanda seluruh kota. Akibatnya, keseimbangan ekosistem di darat dan di air terancam. Wabah penyakit muncul dan menyerang manusia seperti kudis, kurap, diare dan lain sebagainya.

Kedua, dalam bidang ekonomi, semua aktivitas produktif warga menjadi terhambat. Kantor-kantor ditutup. Penghasilan para pengusaha tersendat. Semua proyek molor. Petani tidak bisa menanam dengan baik. 

PNS menjadi diam di tempat dan para politisi mendengkur di rumah empuk karena hujan deras yang terus mengguyur. Hujan deras yang menyebabkan banjir menghanyutkan semua rumah milik warga dengan semua barang berharga lainnya. Semua kerugian terhitung dalam milyaran bahkan triliunan Rupiah.

Ketiga, dalam bidang politik, hujan deras yang mendatangkan banjir di kota-kota seperti di Jakarta dan sekitarnya melahirkan konflik kepentingan antara warga dan pemangku kekuasaan dalam hal ini pemerintah. 

Orasi kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang lalai dalam menanggulangi bencana banjir kerap kali terjadi. Kekacauan frontal antara sesama elite politik terkait cara pandang masalah banjir hingga munculnya kebijakan yang mengambang. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi luntur. Dan lain sebagainya.

Paradoks lainnya, hujan dilihat sebagai sesuatu yang menguntungkan serentak merugikan. Dalam situasi dan kondisi tertentu, hujan yang terus mengguyur menguntungkan bagi segenap pihak lain dalam melangsungkan pekerjaan justru dipandang petaka bagi yang lainnya. Hujan telah menciptakan sebuah beban yang menghalangi aktivitas. Atau pada saat hujan mereka justru mendambakan kemarau.

Dalam konteks seperti ini maka terciptalah praduga irasional pada masyarakat kelas akar rumput. Fenomena pawang hujan muncul di mana-mana, yang konon bisa mengatur saat kapan hujan boleh turun ataupun tidak. Dalam hal demikian, hujan telah menciptakan semacam sebuah paradoks.

Sampai di sini, hujan bagaikan buah malakama yang menyebabkan sebuah problem eksistensial bagi kehidupan dan peradaban manusia. Satu sisi hujan dialami sebagai sebuah berkah namun pada sisi lainnya justru dialami sebagai sebuah kutukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun