Arus informasi global melambat.
Warga kehilangan akses terhadap pengetahuan yang seharusnya terbuka.
Selain itu, ada paradoks lain, meski negara ingin mandiri secara digital, kenyataannya infrastruktur penting (cloud, sistem operasi, media sosial) masih dikuasai perusahaan asing raksasa seperti Google, Meta, atau Microsoft. Ini menciptakan ketergantungan baru sebuah hegemoni korporasi global.
Apakah berarti kedaulatan siber tidak penting? Tentu saja penting. Tapi yang perlu diwaspadai adalah ilusi kontrol. Upaya menutup diri justru berbahaya.
Sebagai alternatif, kita membutuhkan Kedaulatan Siber yang Responsif. Artinya:
Fokus pada keamanan data warga, bukan sekadar sensor konten.
Membangun tata kelola global yang melibatkan banyak pihak (multi stakeholder), bukan hanya negara.
Menguatkan infrastruktur domestik, agar kita tidak sepenuhnya bergantung pada korporasi asing.
Dengan pendekatan ini, negara tetap bisa melindungi warganya, tanpa mengorbankan prinsip keterbukaan internet dan hak-hak sipil.
Internet adalah ruang tanpa batas, tetapi politik masih berbicara dengan logika teritorial. Ketegangan antara keduanya melahirkan debat panjang soal kedaulatan siber. Jika negara hanya mengejar kontrol total, yang didapat justru fragmentasi global dan kehilangan kepercayaan publik.
Masa depan internet seharusnya tidak dibangun atas dasar tembok digital, melainkan atas dasar kolaborasi, transparansi, dan perlindungan hak-hak warga.