Di era serba digital, internet tidak lagi sekadar ruang komunikasi, melainkan sudah menjadi arena politik, ekonomi, bahkan pertarungan ideologi. Namun, di balik keterhubungan global yang ditawarkan internet, muncul satu isu besar: Kedaulatan Siber.
Istilah ini merujuk pada upaya negara untuk menegakkan otoritas dan kontrol atas aktivitas digital di dalam batas negaranya. Sekilas terdengar wajar, karena setiap negara tentu ingin melindungi data warganya, infrastruktur penting, serta stabilitas nasional. Tapi, apakah benar negara bisa mengontrol internet yang sifatnya lintas batas?
Proteksionisme Digital: Solusi atau Masalah Baru?
Banyak negara mencoba menegakkan kedaulatan siber melalui kebijakan data localization---misalnya mewajibkan semua data warga disimpan di server domestik. Tujuannya sederhana: data bisa lebih aman dan mudah diatur dengan hukum nasional.
Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Penyimpanan data lokal tidak otomatis lebih aman. Justru, semakin banyak pusat data kecil dibangun, semakin rentan pula ia menjadi sasaran serangan siber. Selain itu, kebijakan ini membuat perusahaan asing enggan berinvestasi, sementara UMKM terbebani biaya lebih besar. Alih-alih memperkuat kedaulatan, proteksionisme digital justru bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi digital.
Kontrol Politik di Balik Firewall
Di beberapa negara, kedaulatan siber juga dijadikan alasan untuk memperketat sensor internet. Teknologi firewall canggih dipakai untuk memblokir konten, membatasi informasi, bahkan memantau percakapan warganya.
Narasi yang digunakan biasanya soal keamanan nasional. Tetapi, ada sisi gelap di baliknya: kebebasan berekspresi dan privasi warga sering kali dikorbankan. Negara menjadi pengendali utama aliran informasi, mengubah internet dari "pasar gagasan" menjadi "medan propaganda".
Ancaman Splinternet: Internet yang Terpecah
Jika tren ini terus berlanjut, dunia bisa menuju apa yang disebut sebagai Splinternet---internet yang terpecah-pecah menjadi versi nasional yang saling terisolasi. Dampaknya?