Kalimantan Selatan memasuki babak baru dalam lanskap ekonominya. Setelah bertahun-tahun menggantungkan pertumbuhan pada sumber daya alam, terutama batu bara, kini provinsi ini mulai merasakan tekanan akibat perubahan dinamika ekonomi global. Pergeseran tren energi dunia menuju sumber yang lebih ramah lingkungan, ketatnya regulasi perdagangan, serta tekanan pasar internasional telah menyadarkan banyak pihak bahwa ketergantungan pada komoditas primer bukan lagi strategi yang berkelanjutan. Momentum inilah yang seharusnya mendorong Kalimantan Selatan untuk menata ulang arah pembangunannya dan merumuskan strategi ekonomi yang lebih adaptif dan inklusif.
Kalimantan Selatan kini menghadapi tantangan yang serius, yaitu melemahnya ekspor seiring dengan turunnya permintaan global terhadap batubara. Berdasarkan data BPS Provinsi Kalimantan Selatan, nilai ekspor pada Maret 2025 tercatat mencapai sekitar US$ 800,19 juta, turun 4,87% dibandingkan Februari dan bahkan anjlok 26,16% dibandingkan Maret 2024. Sebagai provinsi dengan ekspor yang sangat bergantung pada batu bara (lebih dari 80% kontribusi ekspor), Kalsel kini berada di persimpangan penting, dimana terus bergantung pada komoditas primer atau mulai serius beralih ke hilirisasi dan diversifikasi produk ekspor.
Penurunan ini bukan hanya sekadar fluktuasi musiman. Ini merupakan sinyal buruk bagi perekonomian regional yang telah terlalu lama bergantung pada kekayaan alam mentah tanpa menghasilkan nilai tambah. Terlebih lagi, negara besar seperti Tiongkok dan India mulai mengurangi ketergantungan pada batubara demi transisi energi. Jika Kalimantan Selatan tidak segera menyiapkan rute ekspor alternatif yang lebih berkelanjutan, maka ketergantungan ini bisa menjadi jebakan jangka panjang.
Sinyal positif sebenarnya mulai terlihat. Pemprov Kalsel telah mencanangkan akselerasi hilirisasi dan penguatan sektor agroindustri melalui pembangunan kawasan industri, seperti KEK Mekar Putih di Kota Baru dan Jorong, serta pengembangan pusat logistik dan pelabuhan. Komoditas seperti ikan olahan, karet, kelapa sawit, dan kayu mulai mendapat perhatian untuk dikembangkan menjadi produk ekspor yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Â Bahkan dalam laporan BPS Februari 2025, tercatat bahwa ekspor lemak dan minyak nabati mengalami lonjakan hingga 131,01% dibandingkan bulan sebelumnya. Namun, secara nominal keduanya masih jauh tertinggal dari batu bara.
Namun tantangannya tetap besar. Pertama, produk agro belum sepenuhnya siap diekspor karena keterbatasan infrastruktur industri hilir. Kedua, pelaku UMKM dan SDM masih perlu meningkatkan kapasitas mereka untuk bersaing di pasar internasional. Ketiga, kurangnya sinergi lintas sektor membuat banyak potensi ekspor lokal tidak tergarap dengan optimal.
Untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan langkah nyata dari berbagai pihak:
- Kurangi ketergantungan pada sumber daya yang terbatas. Batu bara adalah sumber daya alam yang tidak terbarukan dan cadangannya semakin menipis. Pemerintah daerah perlu segera mengalihkan fokus pembangunan ekonomi dari eksploitasi batu bara ke sektor-sektor yang lebih berkelanjutan seperti agroindustri dan jasa bernilai tambah.
- Bangun ekonomi yang berbasis pada siklus berkelanjutan. Karena batu bara tidak dapat diperbarui (unrenewable), Kalimantan Selatan perlu mengembangkan industri yang mendorong efisiensi, daur ulang, dan penggunaan bahan baku terbarukan agar mampu bertahan dalam jangka panjang.
- Minimalkan risiko akibat fluktuasi harga global. Ketergantungan pada komoditas seperti batu bara yang harganya sangat volatile membuat perekonomian daerah rentan terhadap guncangan eksternal. Diversifikasi ekspor melalui pengembangan produk olahan lokal dapat menciptakan stabilitas ekonomi yang lebih tangguh.
- Susun roadmap ekspor non-batubara yang realistis dan terukur. Produk-produk potensial seperti minyak sawit olahan, ikan, karet, kayu, dan turunannya harus difokuskan sebagai komoditas ekspor unggulan dalam beberapa tahun ke depan.
- Dukung UMKM agar mampu bersaing di pasar ekspor. Berikan pelatihan, akses pembiayaan, sertifikasi produk, dan pendampingan ekspor kepada pelaku usaha kecil agar mereka bisa masuk ke pasar internasional dengan standar yang kompetitif.
Transformasi ini tidak bisa ditunda. Kalimantan Selatan harus berpartisipasi dalam pergeseran global menuju ekonomi berbasis keberlanjutan dan industri hijau. Batubara boleh jadi menjadi penopang utama selama dua dekade terakhir, namun masa depan Banua tidak dapat selamanya disandarkan pada barang tambang yang semakin tak ramah lingkungan.
Inilah saatnya Kalimantan Selatan menunjukkan wajah baru, provinsi yang bukan hanya kaya sumber daya alam, tetapi juga cerdas dalam mengolahnya. Dengan komitmen yang serius, hilirisasi agroindustri dan diversifikasi ekspor bukan lagi sekadar wacana, melainkan jalan pasti menuju ekonomi Banua yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Penulis: Amalia
Mahasiswa S1 Akuntansi FEB ULM