Menuju visi besar Indonesia Emas 2045, perubahan kurikulum atau akselerasi digitalisasi pendidikan saja tidak cukup. Hal yang lebih mendasar adalah memastikan pendanaan pendidikan dilakukan secara adil, tepat sasaran, dan memberi dampak langsung bagi peningkatan kualitas pendidikan. Dalam konteks ini, Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) terutama skema BOS Afirmasi dan Kinerja—memiliki peran strategis. Namun, yang menjadi pertanyaan: apakah kebijakan ini benar-benar mampu mengatasi ketimpangan yang sudah lama membayangi?
Sejak diluncurkan sebagai pelengkap dari BOS Reguler, dana BOS Afirmasi dan Kinerja diharapkan menjangkau satuan pendidikan di wilayah dengan keterbatasan geografis maupun sekolah dengan capaian prestasi yang signifikan. Namun kenyataannya, pelaksanaan di lapangan tidak sesederhana yang dirancang. Terlambatnya pencairan, pembatasan pengeluaran, hingga tekanan birokrasi justru memperberat beban sekolah.
Dana Tersedia, Tapi Kesejahteraan Guru Terabaikan
Fenomena ini tampak jelas di sejumlah sekolah swasta penerima BOSDA Afirmasi di Riau. Sejak pertengahan 2024 hingga 2025, banyak guru belum menerima honor karena pungutan SPP ditiadakan dengan asumsi akan diganti melalui dana Afirmasi yang belum juga cair. Alhasil, sekolah berada di situasi yang sulit: patuh pada aturan, namun tak punya cukup dana untuk membayar hak guru.
Jika hak tenaga pendidik saja belum terpenuhi, bagaimana mungkin kita bicara tentang pendidikan yang berkualitas?
Ketimpangan di Balik Sistem Flat Grant
Sistem flat grant yang digunakan untuk pendistribusian dana BOS tampak menjunjung keadilan karena besarannya didasarkan pada jumlah siswa. Sayangnya, pendekatan ini gagal memperhitungkan kebutuhan spesifik tiap sekolah. Institusi pendidikan yang kekurangan infrastruktur atau tertinggal secara digital tetap mendapat jumlah dana yang sama dengan sekolah yang sudah mapan. Keadilan semacam ini patut dipertanyakan.
BOS Kinerja: Stimulus Atau Sekat Baru?
Tujuan BOS Kinerja sejatinya adalah memberikan insentif kepada sekolah berprestasi agar mampu mempertahankan kualitasnya. Namun dalam praktiknya, syarat administratif yang tinggi justru membuat sekolah kecil sulit mengakses dana ini. Ketentuan seperti keharusan memperoleh penghargaan di tingkat provinsi/nasional atau mengikuti program prioritas kementerian selama beberapa tahun terakhir dapat menutup peluang bagi sekolah yang baru mulai berbenah.
Apakah insentif ini menjadi pemacu kemajuan, atau malah memperkuat ketimpangan antar sekolah?
Perlu Peninjauan Serius terhadap Skala Prioritas
Kebijakan BOS tahun 2025 menetapkan bahwa sekurangnya 10% dana harus dialokasikan untuk pengadaan buku, sementara pembelanjaan untuk fasilitas fisik dibatasi maksimal 20%. Secara konsep, kebijakan ini selaras dengan misi peningkatan kualitas pembelajaran. Namun bagaimana dengan sekolah yang kekurangan sarana dasar seperti bangku, papan tulis, atau sanitasi layak? Digitalisasi dan AI memang penting, tapi kebutuhan dasar tak boleh diabaikan.
Kepemimpinan Sekolah dalam Tekanan Regulasi
Dalam kondisi serba terbatas ini, kepala sekolah dituntut menjadi pemimpin visioner yang mampu menetapkan skala prioritas, mengelola anggaran dengan tepat, dan tetap menjalankan tanggung jawab administratif. Namun seringkali kreativitas mereka terhambat oleh rumitnya regulasi dan pelaporan yang menyita energi.
Reorientasi Dana Pendidikan: Dari Kepatuhan Menuju Keberpihakan
Jika benar-benar ingin mencetak generasi unggul, sistem pendanaan pendidikan perlu bergerak dari orientasi administratif menuju semangat keberpihakan. Akuntabilitas tetap penting, tapi jangan sampai membunuh fleksibilitas dan otonomi pengelolaan di tingkat satuan pendidikan. BOS Afirmasi dan Kinerja seharusnya menjadi penopang kemajuan sekolah, bukan sekadar alat kontrol anggaran.
Karena sejatinya, pendidikan bukan tentang anggaran belaka, tapi tentang manusia—tentang siswa, guru, dan kepala sekolah yang berjuang setiap hari di ruang-ruang kelas. Kini saatnya kita perjuangkan dana BOS yang benar-benar adil, hadir tepat waktu, dan menjawab kebutuhan nyata di lapangan.
Disusun oleh Bapak Halinis, S.Si selaku kepala sekolah SMA N 4 Kota Dumai dan Amalia Cintya Nurkomala, S.Pd guru SMA N 4 Kota Dumai Kelas Jauh Batu Teritip juga sebagai Mahasiswa Pascasarjana Lancang Kuning University semester 3 tahun 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI