Mohon tunggu...
ALYA ROSIANAWATI
ALYA ROSIANAWATI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Sedang mencari jati diri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kritik Parliamentary Threshold dalam Konteks Pseudo Democracy

27 April 2023   13:27 Diperbarui: 27 April 2023   13:27 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Suka cita Reformasi 1998---menandakan runtuhnya pertahanan benteng otoritarianisme Soeharto selama 32 tahun---menyumbang kontribusi besar yang berorientasi terhadap perubahan total konstelasi politik Indonesia menuju ke arah demokratisasi. Deretan transisi demokratisasi, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi yang paling dinamis di Asia dan mendapat banyak sorotan dari beberapa negara atas pencapaiannya dalam interpretasi reformasi di tengah eksistensinya sebagai negara yang erat dengan pluralisme. 

Reformasi angkatan bersenjata dalam ranah politik, liberalisasi partai politik, independensi media, perluasan public sphere bagi masyarakat sipil, reformasi hukum dan peradilan hingga program desentralisasi sebagai bentuk perluasan otonomi daerah merupakan prestasi demokratisasi yang semakin menyinari Indonesia di kancah global. 

Meminjam istilah (Carothers, 2009; Berlian,2008; Lussier, 2016) dalam Buku Demokrasi di Indonesia dari Stagnan ke Regresi? Bahwa Indonesia dianggap sebagai pencilan demokrasi karena mampu menghasilkan deretan transisi demokratisasi setelah terbelenggu dalam dinding otoritarianisme dan berjuang di tengah krisis keuangan Asia.

Dalam Jurnal The Relationship between the Election and the Democracy, Chitlaoarporn mengungkapkan, "The election is a part of the political process in the democracy and for every political system also employs the election as a symbol of the democracy. However, if the election is corrupted in process itself, it is clear that the democracy based on the election may be fraud". Baginya, pemilu merupakan bagian dari proses-proses politik dan menjadi simbol setiap sistem politik terlepas dari praktik-praktik korupsi dalam pemilu tersebut. 

Dengan kata lain, pemilu merupakan core belief terhadap penyelenggaraan demokrasi dan demokratisasi dalam suatu pemerintahan, dimana masyarakat mempunyai kedudukan kedaulatan tertinggi untuk menentukan sendiri politik, ekonomi, sosial, dan sistem budayanya melalui mekanisme kepemimpinan politik. 

Namun, isu kepemiluan ini tidak lagi berputar pada koridor yang elementer, tetapi bergerak lebih radikal dan komprehensif untuk menghadirkan suatu sistem pemilu yang berintegritas dan demokratis, dimana pada tataran empirik, tantangan dalam mewujudkan pemilu yang berintegritas, bukan merupakan perkara yang sederhana. Ancaman terhadap praktik-praktik demokrasi semu atau pseudo demokrasi telah menjalar dan mengintai ruang publik, menekan proses pelaksanaan pemilu secara ofensif untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan kelompok tertentu. 

Melansir dalam situs European Center for Populism Studies, pseudo demokrasi divisualisasikan sebagai sistem politik yang mengklaim bahwa dirinya demokratis secara taktis, tetapi tidak memuat nilai-nilai praktik demokrasi secara substansial, seperti membatasi preferensi nyata warga negaranya terhadap keterbatasan jumlah partai politik yang memenuhi syarat untuk dipilih mewakili kepentingannya.

Tentunya ancaman pseudo demokrasi ini bukan menjadi perihal baru, mengingat istilah ini telah beresonansi dengan khas di era kontemporer dan dikemas dalam bentuk narasi publik yang bergerak secara dinamis mengundang banyak orang untuk bergabung, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis di permukaan, seperti bagaimana para pseudo-democrats memasang topeng sebagai pemimpin demokratis dan bergerak bersama kelompoknya untuk menjadikan pemilu sebagai alat promotor guna melegitimasi dirinya? 

Dalam konteks praktik demokrasi di Indonesia, implementasi kebijakan Parliamentary Threshold diduga sebagai bentuk kritik terhadap demokrasi substansial dan merujuk terhadap praktik demokrasi semu sehingga mengundang berbagai opini pro kontra terhadap dasar dari disahkannya kebijakan ini dengan pembangunan narasi untuk 'penyederhanaan partai politik' dengan konteks Indonesia sebagai negara penganut sistem multipartai.

Secara sederhana di bagian pendahuluan ini, Parliamentary Threshold dimaknai sebagai kebijakan ambang batas yang harus dipenuhi oleh partai politik sebagai persyaratan electoral administrative guna mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu dengan kalkulasi angka yang sejauh ini meningkat sejak disahkannya kebijakan ini. Tentunya ini membawa efek terhadap tingkat keketatan bagi partai politik yang berkeinginan untuk berpartisipasi dalam kontestasi elektoral, yang mana hal ini cenderung memberi kesan pembatasan hak politik. 

Padahal, pada demokrasi murni, kebebasan sipil untuk memilih atau dipilih merupakan bagian dari hak politik yang dijamin oleh konstitusi dan menjadi dasar dari Hak Asasi Manusia, Council of Europe (2017), "Political rights, such as the right to vote, stand for election and be elected, are fundamental human rights". Selain mendatangkan efek pembatasan hak politik, implementasi Parliamentary Threshold di Indonesia juga menyebabkan semakin besarnya suara rakyat yang hilang dengan perbandingan yang lurus terhadap jumlah ambang batas yang terus meningkat di setiap jelang penyelenggaraan pemilu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun