Di tengah makin parahnya kerusakan lingkungan dan krisis iklim global, kita tidak hanya butuh regulasi atau teknologi tinggi untuk menyelamatkan alam. Lebih dari itu, kita perlu pendekatan yang menyentuh hati masyarakat, yang bisa membangkitkan kesadaran dari akar---yakni budaya. Di sinilah peran Kang Dedi Mulyadi (KDM) menjadi menarik untuk dicermati.
Kang Dedi Mulyadi adalah figur publik yang berhasil meramu nilai-nilai budaya lokal dengan media sosial sebagai sarana menyuarakan isu-isu sosial dan lingkungan. Lewat kanal YouTube, Instagram, dan TikTok, ia menyampaikan pesan pelestarian lingkungan secara konsisten, dengan gaya khas: humanis, sederhana, dan menghibur. Pesannya tidak hanya mengajak, tapi juga menyentuh, karena dibungkus dalam narasi budaya dan kehidupan nyata rakyat kecil.
Budaya Lokal Sebagai Pondasi
Sebagai tokoh yang sangat identik dengan budaya Sunda, Kang Dedi menjadikan filosofi hidup masyarakat tradisional---seperti leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak (hutan rusak, air habis, manusia sengsara)---sebagai dasar pesan-pesannya. Dalam banyak kontennya, ia mengingatkan bahwa alam adalah warisan leluhur yang harus dijaga, bukan sekadar sumber eksploitasi.
Ia kerap berdialog langsung dengan petani, pemulung, atau warga desa yang masih hidup selaras dengan alam. Misalnya, dalam salah satu video, ia bertemu dengan seorang kakek yang masih menanam pohon di pinggir jalan. Kang Dedi tidak hanya memuji, tapi juga menjadikan momen itu sebagai edukasi publik tentang pentingnya menghargai mereka yang merawat bumi dalam senyap. Dalam banyak kesempatan, ia juga memberikan bantuan langsung tanpa menggurui, dan ini memperkuat keterhubungan emosional antara pesan dan penontonnya.
Budaya Populer sebagai Kendaraan
Yang membuat pendekatan Kang Dedi menarik adalah caranya mengubah isu lingkungan menjadi bagian dari budaya populer digital. Ia tidak menyampaikan kampanye dengan cara formal dan berat, tetapi lewat video pendek, dialog ringan, dan kadang diselingi humor. Ini membuat isu lingkungan yang tadinya "jauh" jadi terasa dekat dan personal bagi masyarakat digital.
Dengan pendekatan ini, pesan-pesan lingkungan bukan hanya menjadi pengetahuan, tapi juga pengalaman emosional. Orang merasa terlibat karena kisah-kisah yang dibawakan relatable dan menyentuh. Dalam ilmu komunikasi, pendekatan seperti ini disebut sebagai eco-narrative---menggunakan cerita untuk membangun kesadaran ekologis secara kultural.
Menggerakkan Partisipasi
Lebih dari sekadar edukasi, gaya komunikasi Kang Dedi juga mengajak masyarakat ikut berpartisipasi langsung. Banyak komentar warganet yang menyatakan mereka jadi lebih sadar membuang sampah pada tempatnya, menanam pohon, atau menghargai lingkungan setelah menonton videonya. Artinya, budaya populer bukan hanya menyampaikan informasi, tapi juga menggerakkan tindakan nyata yang bisa berdampak jangka panjang.
Fenomena ini sejalan dengan teori perubahan sosial berbasis media, yang menyebut bahwa transformasi perilaku bisa terjadi bila ada keterlibatan emosional, identifikasi budaya, dan penguatan komunitas. Kang Dedi memenuhi ketiganya dengan konsisten.
Bukan Sekadar Pencitraan
Tentu ada yang menganggap pendekatan ini sebagai pencitraan politik, apalagi mengingat posisi Kang Dedi sebagai tokoh publik dan politisi. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah konsistensi dan keberlanjutan dari narasi yang dibawanya. Ia telah memulai ini sejak lama, bahkan saat menjabat Bupati Purwakarta dulu, dengan menanamkan nilai-nilai budaya Sunda dalam birokrasi dan pendidikan.
Selama pesan yang disampaikan membawa dampak positif dan menginspirasi publik untuk peduli pada lingkungan, maka niat baiknya layak diapresiasi. Terlebih lagi, pendekatan ini mencerminkan kebutuhan akan komunikasi yang lebih menyentuh akar budaya masyarakat, bukan hanya jargon semata.
Penutup: Saatnya Meniru, Bukan Sekadar Menonton
Apa yang dilakukan Kang Dedi Mulyadi adalah contoh bahwa pelestarian lingkungan bisa dikomunikasikan dengan cara yang lebih humanis dan menyenangkan. Kita tidak harus selalu membuat kampanye besar-besaran atau jargon formal. Terkadang, cukup dengan satu video pendek yang jujur, menyentuh, dan membawa pesan yang kuat, kita bisa mengubah cara orang memandang lingkungan.
Budaya populer, jika digunakan dengan bijak, bisa menjadi kendaraan yang ampuh untuk gerakan sosial. Dalam kasus Kang Dedi, budaya lokal menjadi pondasi, media digital menjadi sayapnya. Dan hasilnya: kesadaran ekologis menyebar, tidak lewat seminar, tapi lewat cerita yang hidup.
Karena menjaga bumi bukan sekadar tugas pemerintah atau aktivis, tapi juga tanggung jawab budaya kita sebagai manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI