Mohon tunggu...
alya nuraeni zahra
alya nuraeni zahra Mohon Tunggu... mahasiswa

hallo

Selanjutnya

Tutup

Diary

Bukan Butuh Jawaban, Hanya Butuh Didengar

17 Juni 2025   13:45 Diperbarui: 17 Juni 2025   12:44 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Berbicara dan Mendengarkan (source : pinterest)

Ketika seseorang sedang mengalami masalah, entah itu stres, kecemasan, atau kelelahan batin, hal pertama yang sering kita tawarkan adalah solusi. Kita menyemangati, memberi saran, atau bahkan menasihati dengan maksud membantu. Tapi kadang, tanpa sadar, kita justru membuat orang itu merasa makin tertekan. Padahal, banyak dari mereka sebenarnya tidak sedang mencari jawaban. Mereka hanya ingin didengarkan.

“Kadang, hal paling penting yang bisa kita lakukan adalah hadir dan mendengarkan.” – Brené Brown

Kesehatan mental bukanlah hal yang sepele. Tidak semua luka bisa terlihat, dan tidak semua cerita bisa diungkapkan dengan mudah. Bagi sebagian orang, bisa bicara saja sudah merupakan langkah besar. Tapi ketika respons yang mereka terima justru berupa penghakiman atau ceramah, bukan empati, mereka akhirnya memilih untuk diam. Inilah yang sering kita keliru: bahwa menjadi pendengar yang baik bisa jauh lebih berguna daripada sekedar memberi nasihat yang panjang.

Dalam dunia yang penuh distraksi seperti sekarang, kehadiran yang tulus menjadi barang langka. Kita lebih sering sibuk dengan ponsel saat orang di depan kita sedang bercerita. Kita terburu-buru membalas curhat dengan kalimat seperti “yang sabar ya” atau “kamu harusnya bersyukur”, tanpa benar-benar menyimak apa yang mereka rasakan.

“Orang mulai sembuh saat mereka merasa didengarkan.” – Cheryl Richardson

Padahal, mendengarkan itu bukan cuma soal diam. Mendengarkan artinya memberi ruang bagi seseorang untuk merasa aman, didengar, dan dimengerti. Bahkan jika kita tidak tahu harus berkata apa, hanya dengan duduk dan hadir sepenuh hati, kita sudah membantu mereka merasa tidak sendirian.

Menjadi pendengar yang baik juga berarti menahan diri untuk tidak langsung menghakimi. Terkadang, orang hanya ingin melepas beban dari kepalanya, bukan mencari solusi instan saat itu juga. Dan saat kita mau mendengarkan dengan tulus, tanpa menyela atau menggurui, berarti kita sedang menunjukkan bahwa apa yang mereka rasakan itu wajar dan patut dihargai.

Dalam konteks kesehatan mental, sikap seperti ini sangat penting. Banyak orang ragu mencari bantuan profesional karena takut dianggap lemah. Maka, keberadaan orang-orang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi bisa menjadi titik awal pemulihan. Entah itu teman, keluarga, atau siapa pun, yang bersedia hadir dan mau mendengar bisa menjadi bentuk kepedulian yang paling nyata dan penting dalam proses pemulihan seseorang

Jadi, kalau suatu saat seseorang datang kepadamu dengan kepala penuh dan hati yang lelah, jangan terburu-buru memberi nasihat. Mungkin yang paling mereka butuhkan bukan solusi, tapi kehadiran yang tulus dan telinga yang mau mendengarkan. Karena dalam diam yang tulus, ada kekuatan untuk menyembuhkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun